SEKILAS MENGENAI "IDEOLOGI":
DEFINISI & KONTROVERSI KEBERADAANNYA
Secara
etimologis, “ideologi” berasal dari bahasa Yunani yakni, idea dan logos.
Idea dapat diartikan sebagai angan-angan, cita-cita, paham, aliran,
gambaran atau citra, sedangkan logos dapat diterjemahkan sebagai ilmu
pengetahuan—pada mulanya diartikan sebagai “berbicara mengenai”.[1]
Istilah ideologi sendiri untuk pertama kalinya lahir melalui mulut seorang
bangsawan Perancis bernama Antoine De Stutt De Tracy (1754-1836). Menurutnya,
ideologi adalah “ilmu tentang pemikiran manusia yang dapat menunjukkan pada
kebaikan”. Melalui definisi tersebut, dapatlah ditilik dua esensi utama dari
ideologi; pertama, perihal yang dihasilkan oleh pemikiran manusia. Kedua,
membawa pada kebaikan.
Dalam perjalanannya, definisi berikut
makna ideologi mengalami perkembangan sedemikian rupa. Dewasa ini,
ia—ideologi—diartikan pula sebagai “kelompok ide-ide yang teratur mengenai
bermacam-macam masalah politik, ekonomi dan sosial”, serta “asas halauan atau
pandangan hidup mengenai dunia”. Disadari atau tidak, perihal terkait
berimplikasi pula pada pergeseran (perubahan) esensi dari ideologi. Kini,
ideologi tak syarat identik dengan pemikiran “manusia”, melainkan dapat pula ter-manifestasi-kan
melalui pemikiran “Tuhan” (baca: agama)—sejauh ia memiliki kumpulan ide
sistematis mencakup isu-isu kemasyarakatan. Kiranya, hal tersebutlah yang
menjadi keunikan tersendiri dalam pengkajian seputar masalah ideologi dewasa
ini. Bagaimana tidak, konstruksi keilmuan universal berikut dimensi ontologi,
epistemologi maupun aksiologi yang dibawanya telah mengalami pergeseran sedari
“teosentrisme” kepada “antroposentrisme”, namun fenomena sebaliknya justru
ditemui dalam perkembangan ideologi beberapa dasawarsa terakhir ini, yakni
terkait hadirnya berbagai ideologi ketuhanan yang mengatasnamakan agama
tertentu, terutama “Islam”.
Dalam ranah berlainan, tak dapat
dipungkiri bahwa eksistensi ideologi menuai kontroversi di setiap periodesasi
sejarah yang berbeda. Di era Tracy, yakni era di mana ideologi tercetus untuk
pertama kalinya, ideologi menjadi perihal yang dianggap baik dan diyakini mampu
membawa kebaikan hidup manusia oleh para pemikir berikut masyarakat luas.
Namun, di era setelahnya, yakni ketika Napoleon Bonaparte berkuasa, ideologi
dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan “menyesatkan”, bahkan mereka yang
terkena cap “ideolog” didaulat sebagai para provokator yang mengacau kehidupan
masyarakat dan pemerintahan.
Masih hingga era Marx, ideologi dianggap sebagai
sesuatu yang menyesatkan. Bahkan, teoretisi kaum proletar tersebut dalam suatu
kesempatan menegaskan, “Apabila kelak marxisme menjadi ideologi, maka segala
yang kuketahui: Aku bukan marxis!”. Marx beranggapan bahwa ketika marxisme
telah menjadi ideologi, maka ia—marxisme—tak lagi menjadi “ilmu pengetahuan”,
dengan sendirinya ia akan mengalami kebekuan menjadi sesuatu yang dipastikan
“selalu benar”, dengan demikian ia mengalami stagnasi serta tak berkembang
sebagaimana diharapkan Marx—menjadi sebentuk doktrin berikut dogma tersendiri
Pada
perkembangannya kemudian, perspektif mengenai ideologi berubah drastis ketika
dalam paruh awal abad ke-20 dunia memasuki era “fasisme”. Pada periodesasi
sejarah yang kerap dijuluki banyak orang sebagai “abad ideologi” tersebut,
hadir beragam ideologi yang sebelumnya tak pernah dikenal peradaban manusia,
antara lain; komunisme, kapitalisme dan terutama fasisme. Bersamaan dengan
hadirnya era tersebut, faktual ideologi kembali menemui bentuknya yang dipuja
berikut diagungkan khalayak luas sebagaimana pada era Tracy.
Tak lama
berselang, kehancuran fasisme dalam Perang Dunia II (1939-1942) mampu merubah
kembali cara pandang dunia mengenai ideologi. Lagi-lagi, ideologi kembali
menemui bentuknya yang peyoratif, dihujat dan ditempatkan sebagai sebentuk
kepalsuan berikut “kepicikan” tersendiri. Perlu dicatat, mereka yang secara
signifikan memiliki andil dalam merubah cara pandang dunia mengenai ideologi
adalah para pemikir Frankfurt (baca: Mahzab Frankfurt) yang populer dengan
“teori kritis” cetusannya. Beberapa tokoh sentral yang berdiri di balik
pemahaman tersebut antara lain Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer
dan Erich Fromm. Seiring kian menguatnya pemahaman Mahzab Frankfurt di kemudian
hari, tak pelak hingga kini ideologi ajeg ditempatkan sebagai perihal
yang buruk dalam ranah intelektual, khususnya keilmuan sosial-humaniora.
*****
0 komentar:
Posting Komentar