Menjadikan Anggota Keluarga Ahli
Ma`rifat Laporan : |
||
Ada dua peran
yang saling melengkapi di dalam keluarga, yaitu peran karakter orangtua dan
peran karakter anak. Interaksi antar karakter pembentuk keluarga itulah yang
menentukan sakinah, mawaddah, wa rahmah-nya sebuah keluarga.
Syarat mutlak agar hubungan yang terjadi menciptakan kondisi keluarga sakinah, adalah para karakter yang berperan dalam interaksi tersebut harus menjadi ahli ma`rifat. Sebagai penanggungjawab, orangtua wajib memelopori kegiatan pemahaman yang mendalam terhadap ilmu ma'rifatullah, ma'rifatun nabi, dan ma'rifatuddin dalam lingkup keluarganya. Diharapkan, seluruh anggota keluarga dapat menginsyafi tujuan mulia yang terkandung didalam ketiga cabang kema'rifatan tersebut.
Dalam konteks keluarga, ma`rifatullah bertujuan agar seluruh anggota keluarga mengetahui siapa Tuhannya dan melalui apa mereka dapat mengenali Tuhannya. Melalui ma`rifatuddin seluruh anggota keluarga diharapkan mengetahui dengan cara apa mereka dapat berserah diri kepada Allah SWT dan mengukur kedekatan mereka dengan sang Khaliq.
Syarat mutlak agar hubungan yang terjadi menciptakan kondisi keluarga sakinah, adalah para karakter yang berperan dalam interaksi tersebut harus menjadi ahli ma`rifat. Sebagai penanggungjawab, orangtua wajib memelopori kegiatan pemahaman yang mendalam terhadap ilmu ma'rifatullah, ma'rifatun nabi, dan ma'rifatuddin dalam lingkup keluarganya. Diharapkan, seluruh anggota keluarga dapat menginsyafi tujuan mulia yang terkandung didalam ketiga cabang kema'rifatan tersebut.
Dalam konteks keluarga, ma`rifatullah bertujuan agar seluruh anggota keluarga mengetahui siapa Tuhannya dan melalui apa mereka dapat mengenali Tuhannya. Melalui ma`rifatuddin seluruh anggota keluarga diharapkan mengetahui dengan cara apa mereka dapat berserah diri kepada Allah SWT dan mengukur kedekatan mereka dengan sang Khaliq.
Kemudian, seluruh
anggota keluarga diharapkan dapat mengenali teladan dari kalangan manusia yang
dapat ditiru dalam hal ketauhidan dan praktek ibadah yang benar dan sempurna
melalui pemahaman terhadap ma`rifatun nabi. Ikhtiar ini akan membawa seluruh
keluarga menjadi ahli ma`rifat.
Menurut Junaid al-Baghdadi, ahli ma`rifat memiliki sifat-sifat seperti:
Menurut Junaid al-Baghdadi, ahli ma`rifat memiliki sifat-sifat seperti:
(1) mengenal
Allah SWT seakan-akan ia dapat berhubungan langsung dengannya;
(2) Beramal
sesuai petunjuk dari Rasulullah SAW;
(3) Berserah diri
kepada Allah SWT dalam mengendalikan hawa nafsunya;
(4) Merasa bahwa
dirinya adalah milik Allah SWT dan suatu saat akan kembali padanya.
Dari sifat-sifat yang dikemukakan diatas, anggota keluarga yang juga seorang ahli ma`rifat selalu mempunyai solusi dan cara-cara yang tepat dalam menyikapi masalah yang sering timbul dalam keluarga. Seorang ayah sebagai seorang pemimpin keluarga, tidak akan berlaku sewenang-wenang kepada istri dan anak-anaknya, karena ia telah mengenal Allah Azza wa Jalla dalam pengertian seakan-akan selalu berhubungan langsung dengan-Nya. Ia akan merasa bahwa Allah senantiasa menyaksikan apa yang ia perbuat.
Contoh berikutnya, adalah ketika seorang istri tertarik dengan perhiasan yang harganya sangat mahal. Jika ia tidak pernah mengkaji dan mendapatkan keteladanan dalam hal kema`rifatan oleh suami, maka bisa dipastikan bahwa ia akan terus menuntut dibelikan barang tersebut, padahal ia dan suami belum tentu memiliki cukup uang untuk membeli benda yang diinginkan. Namun jika ia memiliki sifat ahli ma`rifat maka ia tidak akan menuntut banyak kepada suami. Istri dengan sifat ahli ma`rifat ini, dapat mengekang keinginannya yang berasal dari hawa nafsu tersebut. Itu terjadi karena ia telah terbiasa berserah diri kepada Allah dalam mengendalikan hawa nafsunya.
Sebuah keluarga yang beranggotakan ahli ma`rifat, akan dijauhkan dari perasaan suka cita yang berlebihan dan perasaan duka yang tak berkesudahan. Jika seorang ayah dan suami misalnya diamanahi pangkat dan jabatan, maka istri dan anak-anaknya akan mengingatkan kepala keluarga mereka untuk selalu berpedoman pada petunjuk Allah SWT dalam setiap langkah menjalani jabatan tersebut. Keluarga tersebut tidak akan berfoya-foya merayakan pengangkatan itu, karena mereka menganggap bahwa jabatan hanyalah sesuatu yang bersifat sementara.
Contoh selanjutnya mengenai sikap keluarga ahli ma`rifat adalah ketika keluarga itu ditinggalkan wafat oleh salah satu anggota keluarga. Keluarga tersebut tidak akan membiarkan diri mereka terus-menerus dirundung duka. Merekapun tak akan menolak keputusan yang sudah digariskan oleh Allah Azza Wa Jalla itu. Mereka akan mampu mengusir kedukaan, karena merasa bahwa segala sesuatu adalah milik Allah Ta`ala serta akan kembali pula kepada-Nya tak terkecuali dirinya juga.
Untuk mencapai maqam keluarga yang sakinah, mawaddah, dan wa rahmah berlandaskan kema`rifatan ini, terdapat berbagai problem yang senantiasa merintangi terwujudnya kondisi tersebut. Agar problem tersebut tidak menjadi pelik atau begitu menghambat, maka mau tak mau pribadi para anggota keluarga harus dididik menjadi ahli ma`rifat.
Pembelajaran, pengamalan, pendakwahan dan kesabaran dalam mengecap kema'rifatan, akan melahirkan pribadi-pribadi dengan sifat-sifat terpuji. Seandainya berkumpul sifat-sifat terpuji tersebut dalam diri kita dan seluruh anggota keluarga, Insya Allah, keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah akan terwujud dalam keluarga kita.
Dari sifat-sifat yang dikemukakan diatas, anggota keluarga yang juga seorang ahli ma`rifat selalu mempunyai solusi dan cara-cara yang tepat dalam menyikapi masalah yang sering timbul dalam keluarga. Seorang ayah sebagai seorang pemimpin keluarga, tidak akan berlaku sewenang-wenang kepada istri dan anak-anaknya, karena ia telah mengenal Allah Azza wa Jalla dalam pengertian seakan-akan selalu berhubungan langsung dengan-Nya. Ia akan merasa bahwa Allah senantiasa menyaksikan apa yang ia perbuat.
Contoh berikutnya, adalah ketika seorang istri tertarik dengan perhiasan yang harganya sangat mahal. Jika ia tidak pernah mengkaji dan mendapatkan keteladanan dalam hal kema`rifatan oleh suami, maka bisa dipastikan bahwa ia akan terus menuntut dibelikan barang tersebut, padahal ia dan suami belum tentu memiliki cukup uang untuk membeli benda yang diinginkan. Namun jika ia memiliki sifat ahli ma`rifat maka ia tidak akan menuntut banyak kepada suami. Istri dengan sifat ahli ma`rifat ini, dapat mengekang keinginannya yang berasal dari hawa nafsu tersebut. Itu terjadi karena ia telah terbiasa berserah diri kepada Allah dalam mengendalikan hawa nafsunya.
Sebuah keluarga yang beranggotakan ahli ma`rifat, akan dijauhkan dari perasaan suka cita yang berlebihan dan perasaan duka yang tak berkesudahan. Jika seorang ayah dan suami misalnya diamanahi pangkat dan jabatan, maka istri dan anak-anaknya akan mengingatkan kepala keluarga mereka untuk selalu berpedoman pada petunjuk Allah SWT dalam setiap langkah menjalani jabatan tersebut. Keluarga tersebut tidak akan berfoya-foya merayakan pengangkatan itu, karena mereka menganggap bahwa jabatan hanyalah sesuatu yang bersifat sementara.
Contoh selanjutnya mengenai sikap keluarga ahli ma`rifat adalah ketika keluarga itu ditinggalkan wafat oleh salah satu anggota keluarga. Keluarga tersebut tidak akan membiarkan diri mereka terus-menerus dirundung duka. Merekapun tak akan menolak keputusan yang sudah digariskan oleh Allah Azza Wa Jalla itu. Mereka akan mampu mengusir kedukaan, karena merasa bahwa segala sesuatu adalah milik Allah Ta`ala serta akan kembali pula kepada-Nya tak terkecuali dirinya juga.
Untuk mencapai maqam keluarga yang sakinah, mawaddah, dan wa rahmah berlandaskan kema`rifatan ini, terdapat berbagai problem yang senantiasa merintangi terwujudnya kondisi tersebut. Agar problem tersebut tidak menjadi pelik atau begitu menghambat, maka mau tak mau pribadi para anggota keluarga harus dididik menjadi ahli ma`rifat.
Pembelajaran, pengamalan, pendakwahan dan kesabaran dalam mengecap kema'rifatan, akan melahirkan pribadi-pribadi dengan sifat-sifat terpuji. Seandainya berkumpul sifat-sifat terpuji tersebut dalam diri kita dan seluruh anggota keluarga, Insya Allah, keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah akan terwujud dalam keluarga kita.
Wallahu a`lam
bishshawab.
Sinergi Peran Membentuk Keluarga Unggul | ||
Ukuran keunggulan
diri dalam Islam, dinilai dari derajat keimanan dan keihsanan yang terpancar
dari pribadi-pribadi Muslim saat beraktivitas dan mensinergikan potensinya
menggapai kemaslahatan. Keunggulan individu itu terbentuk melalui tahapan
proses. Tahapan yang diawali dari pembentukan karakter dalam suatu wadah atau
organisasi bernama keluarga.
Sebuah keluarga
berkontribusi besar terhadap pembentukan jati diri seseorang. Nilai yang dianut
keluarga adalah doktrin awal yang akan mempengaruhi cara pandang seseorang
terhadap berbagai dimensi kehidupan.
Nilai-nilai tersebut akan digunakan sebagai pedoman bersikap dalam interaksi dengan sesama maupun dalam interaksi secara vertikal dengan Allah SWT. Karena pengaruh besar faktor keluarga tersebut, maka kualitas keunggulan pribadi ditentukan pula oleh nilai keunggulan yang dimiliki oleh keluarga tempat ia dilahirkan dan tumbuh.
Keunggulan
keluarga identik dengan maksimalisasi potensi para anggotanya dalam menempuh
ikhtiar mencari ilmu, melakukan kasab, dan ibadah ritual. Titik optimal yang
dituju adalah terpenuhinya kebutuhan spiritual dan material tiap-tiap anggota
keluarga, sehingga tergolong sejahtera. Pemaksimalan potensi di atas melibatkan
berbagai peran dan fungsi yang berbeda. Sesuai dengan potensi bakat dan tuntutan
kewajiban yang diemban oleh masing-masing anggota keluarga.
Pada lazimnya
sebuah keluarga beranggotakan, ayah, ibu, dan anak-anak. Seorang ayah adalah
inspirator keluarga yang memberikan ilham keteladanan. Dalam posisinya, seorang
ayah dituntut untuk selalu memberikan contoh yang baik dalam segala aktivitas,
baik di lingkup internal maupun eksternal keluarga. Dedikasi dan kredibilitas
yang dibentuk, hendaknya membawa pribadi seorang ayah kepada ciri-ciri panutan
ideal. Supaya kata-katanya didengar, akhlak pribadinya ditiru, dan penyikapannya
terhadap aneka permasalahan hidup menjadi sumber inspirasi bagi anggota keluarga
lainnya.
Kontributor
berikutnya dalam pengembangan potensi keluarga adalah peran dan fungsi seorang
ibu. Esensi fungsional seorang ibu adalah pengemban amanah dalam dukungan moral
spiritual. Bakat kelembutan, ketelatenan, dan kasih sayang yang terpancar dari
pribadi seorang ibu adalah perekat hubungan antara sesama anggota keluarga.
Melalui potensinya itu, seorang ibu memiliki tanggung jawab bagi terciptanya
ketenteraman di dalam rumah tangga.
Peran dan fungsi
paling akhir dalam optimalisasi keunggulan keluarga terdapat pada anak sebagai
generasi penerus. Anak-anak yang diharapkan lahir dari rahim seorang ibu adalah
seorang anak yang saleh. Yaitu, seorang anak yang tumbuh dewasa dalam ketaatan
kepada Allah Azza wa Jalla.
Sebagai perhiasan dunia dan amanah bagi kedua orang tua, anak-anak adalah harapan dan cita di masa yang akan datang. Lewat optimalisasi pendidikan, keteladanan, dan kasih sayang, anak-anak akan tumbuh sebagai generasi penerus yang unggul. Berkenaan dengan masalah kesalehan seorang anak, Allah SWT telah menjanjikan keutamaan bagi orang tua yang memiliki putra-putri saleh.
Menurut janji-Nya
tersebut, anak yang saleh merupakan salah satu amal ibadah yang pahalanya akan
terus mengalir pada kedua orang tua, kendati ayah dan ibunya telah berpulang ke
alam baka. Oleh karenanya, seorang anak berperan sebagai motivator di dalam
keluarga. Sebab, anak-anak adalah pemilik hari depan, tempat bergantungnya
harapan keberlangsungan keluarga.
Akhirnya, semoga
umat Islam menyadari bahwa generasi yang unggul terbentuk dari keluarga yang
mempunyai keunggulan pula. Keluarga yang unggul adalah keluarga yang para
anggota di dalamnya mampu berperan sesuai dengan fungsi amanah yang diembannya.
Mereka hendaknya bisa saling memberikan kontribusi positif, hingga keragaman
fungsi dan peranan tersebut dapat saling melengkapi. Potensi-potensi yang ada
dalam diri mereka akan bersatu membentuk suatu pola yang stabil menjaga
kedisiplinan proses.
Dengan kedisiplinan proses itulah, tujuan
utama dari keluarga unggul yaitu terlahirnya pribadi-pribadi salihin dapat
terwujudkan. Semoga Allah Azza Wa Jalla menakdirkan proses di dalam keluarga
kita menjadi sarana dan jalan terlahirnya generasi penerus yang unggul, yang
akan meneruskan perjuangan bagi tegaknya Islam di atas bumi ini.
Insya Allah.
Ketika Fitnah Perceraian Menjadi Ancaman | ||
Telah dimaklumi bahwa di zaman kita ini, jalan
seseorang untuk menikah, laki-laki maupun perempuan, tidaklah mudah. Selalu saja
ada kendala-kendala yang menghalangi proses pernikahan itu, baik kendala materi,
mentalitas, maupun kultur sosial. Menikah akhirnya menjadi "barang" eksklusif
yang tidak dengan mudah bisa dinikmati oleh semua orang.
Katakanlah, pernikahan itu sudah berlangsung. Setelah sekian lama menanti, penuh kesabaran, rintihan dan doa, akhirnya impian pernikahan itu menjelma menjadi realita. Pernikahan pun terjadi dengan penuh damai, gembira dan selamat. Namun apakah persoalan berhenti sampai disini?
Katakanlah, pernikahan itu sudah berlangsung. Setelah sekian lama menanti, penuh kesabaran, rintihan dan doa, akhirnya impian pernikahan itu menjelma menjadi realita. Pernikahan pun terjadi dengan penuh damai, gembira dan selamat. Namun apakah persoalan berhenti sampai disini?
Ternyata tidak. Sesudah menikah (secara sah
dan benar) sepasang suami-isteri harus bahu-membahu, berjuang keras, mengerahkan
semua daya yang dimiliki untuk satu pekerjaan besar, yaitu, melawan perceraian.
Ya, perceraian. Perceraian adalah monster mengerikan yang senantiasa menghadang
mahligai keluarga di tengah jalan.
Kenyataannya, tidak sedikit yang mampu
menikah, bahkan mampu merayakan resepsi pernikahan dengan biaya bombastis, namun
tak lama sesudah itu mereka bercerai, putus ikatan, saling membelakangi satu
sama lain dan saling melemparkan sumpah-serapah. Terkadang terlihat lucu memang.
Di kala menikah nampak anggun, sakral, penuh doa dan nasehat-nasehat bijak.
Akan tetapi sesudah akad diresmikan,
pertempuran terjadi di setiap lini, pertengkaran membakar, baik ada atau pun
tidak ada masalah. Konflik pun menjadi menu utama mengalahkan pesona menu-menu
Perancis yang disajikan dalam buku-buku resep masakan. Ujung dari semua itu, tak
lain: perceraian.
Perceraian ini sungguh telah menjadi "fitnah" bagi kehidupan modern. Kaum muslimah semakin pandai. Nilai-nilai, proses pendidikan dan arus informasi sangat berpengaruh membentuk karakter mereka. Hal ini melahirkan sikap yang cenderung liberal. Di sisi lain, para pemuda tumbuh dalam tekanan-tekanan, dunia kompetisi dan ketidak-ramahan lingkungan. Hal ini membuat urat-urat nadi mereka dialiri darah-darah panas, cepat terbakar, emosional, mudah mengangkat "kartu merah".
Perceraian ini sungguh telah menjadi "fitnah" bagi kehidupan modern. Kaum muslimah semakin pandai. Nilai-nilai, proses pendidikan dan arus informasi sangat berpengaruh membentuk karakter mereka. Hal ini melahirkan sikap yang cenderung liberal. Di sisi lain, para pemuda tumbuh dalam tekanan-tekanan, dunia kompetisi dan ketidak-ramahan lingkungan. Hal ini membuat urat-urat nadi mereka dialiri darah-darah panas, cepat terbakar, emosional, mudah mengangkat "kartu merah".
Problema ini jelas-jelas terasa
menakutkan. Sampai-sampai muncul pertanyaan, Tidak adakah kemampuan zaman kita
untuk melestarikan keindahan rumah-tangga seperti orangtua-orangtua kita dulu?
Entahlah, tapi sebuah komitmen harus diambil, walau untuk itu kita harus
berbenturan dengan arus kuat yang tengah deras menerjang. Kita harus berbuat,
berjuang keras menyelamatkan keutuhan rumah-tangga.
Dengan apa kita harus berbuat? Jika harus
komitmen, atas dasar apa ia ditegakkan? Masih adakah harapan yang bisa dibina?
Sebelum menikah hendaknya harus ada kesepakatan yang bulat diterima oleh kedua orang calon untuk menegakkan kehidupan rumah-tangga mereka di atas prinsip ibadah kepada Allah SWT (ibadah lillah). Menikah adalah ibadah. Maka apapun problema yang kemudian terjadi setelah menikah, dicarikan solusinya di sisi tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Al Quran dan sunnah adalah guide sekaligus titik temu yang paling valid untuk semua manusia dengan segala jenis problema.
Sebelum menikah hendaknya harus ada kesepakatan yang bulat diterima oleh kedua orang calon untuk menegakkan kehidupan rumah-tangga mereka di atas prinsip ibadah kepada Allah SWT (ibadah lillah). Menikah adalah ibadah. Maka apapun problema yang kemudian terjadi setelah menikah, dicarikan solusinya di sisi tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Al Quran dan sunnah adalah guide sekaligus titik temu yang paling valid untuk semua manusia dengan segala jenis problema.
Ketika pengabdian kepada Allah SWT menjadi
rujukan tertinggi, maka tidak ada lagi egoisme yang mampu mengalahkan, kerakusan
yang menguasai, atau hawa nafsu yang berkobar-kobar. Semua persoalan
dikembalikan pada pertanyaan, "Untuk apa sebenarnya kita membangun rumah tangga
ini?" Dengan cara ini, segala problema akan berujung dengan hasil: sakinah
lahir-bathin, dunia-akhirat.
Bila menyimak realita, sebagian besar
perceraian yang terjadi adalah lantaran kita mengacuhkan bimbingan al-Quran dan
sunnah. Keduanya seolah monumen yang dibiarkan membisu terkunci di lemari.
Pasrahkan diri kita kepada Allah, maka disana akan kita jumpai kebahagiaan yang
didambakan. Keluarga kita insya Allah akan tetap utuh hingga kelak bertemu di
jannattun na`im Allah. Amin.
Wallahu a`lam.
Hukuman Tidak Membayar Zakat |
||
Apakah zakat
diwajibkan atas seluruh kekayaan yang kita miliki, tanpa kecuali? Islam
mewajibkan zakat kekayaan terbatas hanya pada harta yang berkembang. Maksudnya,
harta itu tetap berkembang walaupun dibiarkan oleh pemiliknya. Harta yang
dizakati disyaratkan harus memiliki kemungkinan untuk berkembang, agar zakat
dapat dipungut dari lebihnya dan harta pokok tetap ada.
Kata zakat dalam bahasa Arab berarti tumbuh, sehingga di antara yang menyebabkan wajib zakat adalah adanya pertumbuhan harta. Sehingga para ulama berpendapat tidak mewajibkan zakat atas rumah tempat tinggal, pakaian, alat-alat tumah tangga, hewan tunggangan, senjata yang diperlukan, alat-alat produksi dan buku-buku ilmu pengetahuan karena harta tersebut tidak berkembang dan memang menjadi kebutuhan pokok pemiliknya.
Bolehkah orang fasik diberi zakat?
Kata zakat dalam bahasa Arab berarti tumbuh, sehingga di antara yang menyebabkan wajib zakat adalah adanya pertumbuhan harta. Sehingga para ulama berpendapat tidak mewajibkan zakat atas rumah tempat tinggal, pakaian, alat-alat tumah tangga, hewan tunggangan, senjata yang diperlukan, alat-alat produksi dan buku-buku ilmu pengetahuan karena harta tersebut tidak berkembang dan memang menjadi kebutuhan pokok pemiliknya.
Bolehkah orang fasik diberi zakat?
Para ulama
memperkenankan memberi zakat kepada orang fasik, selama ia berada tetap dalam
keislamannya, tidak menyakiti kaum Muslim atau perbuatannya melampaui batas, dan
untuk memperbaiki tingkah lakunya serta menghormati nilai kemanusiaannya, dan
karena zakat itu diambil pula dari orang fasik, maka berhak untuk dikembalikan
kepadanya. Walaupun berdasarkan ijma' ulama, orang-orang saleh yang istiqamah
lebih utama untuk diberikan zakat.
Apa hukuman di akhirat bagi orang yang tidak membayar zakat?
Apa hukuman di akhirat bagi orang yang tidak membayar zakat?
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah SAW bersabda :
"Siapa yang
dikaruniai Allah kekayaan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari
kamat nanti ia akan didatangi oleh seekor ular jantan gundul yang sangat berbisa
dan sangat menakutkan dengan dua bintik di atas kedua matanya, lalu melilit dan
mematuk lehernya sambil berteriak, 'saya adalah kekayaanmu, saya adalah
kekayaanmu yang kau timbun dulu."
Nabi berucap :
Nabi berucap :
"Janganlah
orang-orang yang kikir sekali dengan karunia yang diberikan Allah kepada mereka
itu mengira bahwa tindakannya itu baik bagi mereka. Tidak, tetapi buruk bagi
mereka; segala yang mereka kikirkan itu dikalungkan dileher mereka nanti pada
hari kiamat'.'' (HR Bukhari).
Dalam Hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda, :
Dalam Hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda, :
"Pemilik emas
atau perak yang tidak menunaikan kewajibannya, maka emas atau perak itu nanti
pada hari kiamat dijadikan setrikaan, lalu dipanaskan dengan api neraka,
kemudian digosokkan ke rusuk, muka, dan punggungnya selama 50 ribu tahun, sampai
selesai perhitungannya dengan orang-orang lain, untuk melihat apakah ia masuk
surga atau neraka.
Dan pemilik lembu atau kambing yang tidak melaksanakan kewajibannya, maka nanti pada hari kiamat binatang-binatang itu akan menginjak-injaknya dan menandukinya, setelah selesai seekor datang seekor lagi berbuat hal yang sama sampai selesai perhitungannya dengan orang-orang lain, selama 50 tahun menurut perhitungan tahun kalian, untuk melihat apakah ia masuk surga atau masuk neraka." (HR Muslim).
Apakah kewajiban zakat gugur apabila muzakki meninggal dunia?
Dan pemilik lembu atau kambing yang tidak melaksanakan kewajibannya, maka nanti pada hari kiamat binatang-binatang itu akan menginjak-injaknya dan menandukinya, setelah selesai seekor datang seekor lagi berbuat hal yang sama sampai selesai perhitungannya dengan orang-orang lain, selama 50 tahun menurut perhitungan tahun kalian, untuk melihat apakah ia masuk surga atau masuk neraka." (HR Muslim).
Apakah kewajiban zakat gugur apabila muzakki meninggal dunia?
Berdasarkan
pendapat jumhur fuqaha, zakat tidak gugur ditunaikan walaupun muzakki meninggal,
karena zakat adalah hak harta yang bersifat wajib, seperti halnya utang. Zakat
dapat dikeluarkan dari harta peninggalannya, meski ia tidak
mewasiatkannya.
Apakah boleh orang yang khusus mencari ilmu mendapatkan zakat?
Apakah boleh orang yang khusus mencari ilmu mendapatkan zakat?
Orang yang
mencari ilmu termasuk fardhu kifayah, karena ilmu tersebut pun tidak hanya untuk
dirinya sendiri namun untuk kemaslahatan sebanyak-banyak umat, sehingga patut
diberikan zakat. Diharapkan dengan pemberian zakat ia dapat memenuhi
kebutuhannya membeli buku-buku atau untuk kepentingan agama dan
dunianya.
Menjauhi Syubhat | ||
''Sesungguhnya
yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas. Di antara keduanya
terdapat hal-hal syubhat (meragukan) yang tidak diketahui oleh orang kebanyakan.
Barangsiapa berhati-hati terhadap hal-hal yang syubhat itu, maka sungguh dia
telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan orang yang terjerumus pada
syubhat sungguh telah terjerumus pada haram.
Seperti pengembala yang mengembala ternaknya di sekitar tapal batas, hampir menginjak tapal batas itu. Ingatlah sesungguhnya setiap penguasa memiliki tapal batas. Ingatlah sesungguhnya tapal batas Allah adalah keharaman-keharaman (yang ditetapkan)-Nya.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Seperti pengembala yang mengembala ternaknya di sekitar tapal batas, hampir menginjak tapal batas itu. Ingatlah sesungguhnya setiap penguasa memiliki tapal batas. Ingatlah sesungguhnya tapal batas Allah adalah keharaman-keharaman (yang ditetapkan)-Nya.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Al-Jurjani
mengartikan syubhat sebagai sesuatu yang belum diyakini status halal dan
haramnya
Al-Shan'ani pun berpendapat hampir sama :
Al-Shan'ani pun berpendapat hampir sama :
''Yang dimaksud
dengan syubhat adalah hal-hal yang belum diketahui status halal dan haramnya
hingga sebagian besar orang yang tidak tahu (awam) menjadi ragu antara halal dan
haram. Hanya para ulama yang mengetahui status hukumnya dengan jelas, baik
berdasarkan nas ataupun berdasarkan ijtihad yang mereka lakukan dengan metode
qiyas, istishhab, dan sebagainya'' (Subul Al-Salam, jil. IV hal. 316).
Merujuk pada pengertian tersebut, syubhat memang bukan sebuah status hukum seperti halal, haram, makruh, wajib, dan sunat. Syubhat sesungguhnya menggambarkan pengetahuan objektif sebagian besar orang terhadap status hukum suatu perkara. Sebab, dalam pandangan hukum, tidak ada satu pun masalah yang tidak memiliki status hukum. Sekalipun kadang-kadang diperdebatkan, ketidakjelasannya bukan karena keraguan, tapi berlandaskan keilmuan yang jelas.
Jadi, sebenarnya bagi orang yang tahu, status suatu perkara sudah jelas, sekalipun debatable di kalangan orang yang sama-sama tahu. Sementara status syubhat muncul dari ketidaktahuan, bukan dari pengetahuan. Selamanya akan meragukan dan tidak akan pernah melahirkan kemantapan dalam menentukan sikap terhadap perkara tersebut. Kondisi seperti ini pasti akan melanda sebagian besar umat, terutama kelompok awam.
Seringkali umat menghadapi sesuatu yang tidak jelas dan meragukan. Bahkan para ulama sendiri, dalam kasus-kasus tertentu akan menghadapi situasi yang membingungkan seperti itu. Sementara Islam sama sekali tidak menghendaki hinggapnya keraguan dan kebingungan dalam hati umatnya. Islam selalu mengajarkan agar segala sesuatu dilakukan atas dasar keyakinan. Keyakinan merupakan salah satu prinsip beragama yang paling penting dalam Islam.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW menyatakan :
Merujuk pada pengertian tersebut, syubhat memang bukan sebuah status hukum seperti halal, haram, makruh, wajib, dan sunat. Syubhat sesungguhnya menggambarkan pengetahuan objektif sebagian besar orang terhadap status hukum suatu perkara. Sebab, dalam pandangan hukum, tidak ada satu pun masalah yang tidak memiliki status hukum. Sekalipun kadang-kadang diperdebatkan, ketidakjelasannya bukan karena keraguan, tapi berlandaskan keilmuan yang jelas.
Jadi, sebenarnya bagi orang yang tahu, status suatu perkara sudah jelas, sekalipun debatable di kalangan orang yang sama-sama tahu. Sementara status syubhat muncul dari ketidaktahuan, bukan dari pengetahuan. Selamanya akan meragukan dan tidak akan pernah melahirkan kemantapan dalam menentukan sikap terhadap perkara tersebut. Kondisi seperti ini pasti akan melanda sebagian besar umat, terutama kelompok awam.
Seringkali umat menghadapi sesuatu yang tidak jelas dan meragukan. Bahkan para ulama sendiri, dalam kasus-kasus tertentu akan menghadapi situasi yang membingungkan seperti itu. Sementara Islam sama sekali tidak menghendaki hinggapnya keraguan dan kebingungan dalam hati umatnya. Islam selalu mengajarkan agar segala sesuatu dilakukan atas dasar keyakinan. Keyakinan merupakan salah satu prinsip beragama yang paling penting dalam Islam.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW menyatakan :
''Maka
campakkanlah keraguan dan dirikanlah (perbuatanmu) di atas sesuatu yang
meyakinkan'' (HR Muslim dari Abi Sa'id Al-Khudri).
Oleh karena itu,
bila umat menghadapi satu hal yang membingungkan, ragu antara halal dan haram
maka sebaiknya hal itu ditinggalkan. Hal itu termasuk dalam kategori syubhat.
Dengan menjauhi syubhat berarti kita telah membersihkan agama dan kehormatan kita dari noda-noda yang mungkin saja tanpa kita sadari menepel pada agama dan kehormatan kita. Dengan cara seperti ini, tidak akan ada tuduhan bahwa Islam membingungkan, karena sebenarnya Islam sudah sangat jelas. Hanya saja seringkali, karena pengetahuan yang terbatas banyak orang yang bingung menentukan sikap.
Dengan cara ini pula, kita akan terhindar dari fitnah telah melakukan hal yang buruk. Kehormatan kita sebagai seorang Mukmin akan tetap terjaga. Inilah yang disebut sikap wara' (hati-hati) dalam beragama.
Dengan menjauhi syubhat berarti kita telah membersihkan agama dan kehormatan kita dari noda-noda yang mungkin saja tanpa kita sadari menepel pada agama dan kehormatan kita. Dengan cara seperti ini, tidak akan ada tuduhan bahwa Islam membingungkan, karena sebenarnya Islam sudah sangat jelas. Hanya saja seringkali, karena pengetahuan yang terbatas banyak orang yang bingung menentukan sikap.
Dengan cara ini pula, kita akan terhindar dari fitnah telah melakukan hal yang buruk. Kehormatan kita sebagai seorang Mukmin akan tetap terjaga. Inilah yang disebut sikap wara' (hati-hati) dalam beragama.
Wallahu a'lamu bi
al-shawwab.
Berprestasi Dengan Motivasi | ||
Salah satu kunci
agar kita bisa sukses hidup di dunia adalah motivasi. Makin besar motivasi kita
untuk memperbaiki diri dan maju, kemungkinan sukses pun akan kian besar.
Motivasi
seseorang sangat ditentukan oleh tingkat harapannya terhadap sesuatu. Karena
itu, ada tiga hal yang berkaitan erat denga prestasi, yaitu :
1. prestasi itu
sendiri,
2. motivasi,
dan
3. harapan.
Prestasi bisa
diraih karena adanya motivasi dan motivasi akan tumbuh jika ada
harapan.
Banyak manusia lebih sering mengeluarkan alasan ketimbang berbuat. Lebih mengkhawatirkan, semua itu terlahir hanya untuk menutupi kemalasan dan kegagalannya.
Banyak manusia lebih sering mengeluarkan alasan ketimbang berbuat. Lebih mengkhawatirkan, semua itu terlahir hanya untuk menutupi kemalasan dan kegagalannya.
Ketika ditanya,
misalnya, "Mengapa Anda tidak kuliah?"
Jawaban yang
sering muncul adalah tidak punya uang, atau karena orang tua tidak sanggup
membiayai, minder, dan sebagainya. Padahal, jika seseorang mau berbuat, semua
itu bisa disiasati. Bisa dengan cara berwirausaha, atau mendapatkan beasiswa.
Begitu pula ketika ditanya, "Mengapa tidak mencoba berbisnis?"
Begitu pula ketika ditanya, "Mengapa tidak mencoba berbisnis?"
Jawaban yang
sering terlontar terlihat fatalis: takut gagal, tidak punya modal, banyak
saingan, dan sebagainya. Karena itu, jangan heran jika kita tidak pernah maju.
Bagaimana mau maju, motivasi untuk maju saja tidak ada?
Sebaik-baik sumber motivasi adalah ridha Allah SWT. Prestasi tertinggi seseorang dalam hal ini adalah mendapatkan surga. Sebaliknya, sumber motivasi terendah adalah dunia. Bila motivasi seseorang hanya tertuju pada dunia, yakinlah bahwa hanya kekecewaan yang akan ia dapatkan.
Seseorang yang berbisnis karena mencari dunia semata, akan kecewa bila bisnisnya merugi. Tapi bagi orang yang berbisnis karena Allah, setiap kegagalan bermakna pengalaman berharga untuk tidak jatuh dalam kegagalan serupa.
Sebaik-baik sumber motivasi adalah ridha Allah SWT. Prestasi tertinggi seseorang dalam hal ini adalah mendapatkan surga. Sebaliknya, sumber motivasi terendah adalah dunia. Bila motivasi seseorang hanya tertuju pada dunia, yakinlah bahwa hanya kekecewaan yang akan ia dapatkan.
Seseorang yang berbisnis karena mencari dunia semata, akan kecewa bila bisnisnya merugi. Tapi bagi orang yang berbisnis karena Allah, setiap kegagalan bermakna pengalaman berharga untuk tidak jatuh dalam kegagalan serupa.
Ia juga akan
menyadari bahwa semua terjadi karena izin Allah. Ia sadar bahwa keinginannya
belum tentu sesuai menurut Allah. Tugasnya hanya meluruskan niat dan
menyempurnakan ikhtiar, perkara hasil ada di tangan Allah sepenuhnya. Inilah
hakikat motivasi menuju prestasi yang hakiki.
Arti Sebuah Niat | ||
Dari Umar bin
Khathab ra, Rasulullah SAW bersabda :
"Segala amal
perbuatan bergantung pada niat dan setiap orang akan memperoleh pahala sesuai
dengan niatnya. Maka barangsiapa yang berhijrah dengan niat mencari keuntungan
duniawi atau untuk mengawini seorang perempuan, maka (pahala) hijrahnya sesuai
dengan niatnya itu". (HR. Bukhari)
Penjelasan:
Penjelasan:
Rasulullah SAW
mengucapkan hadis ini ketika beliau hijrah ke Yatsrib atau Madinah. Saat itu
tersebar sebuah informasi bahwa ada seseorang yang ikut berhijrah karena
mengejar wanita tunangannya. Nama wanita itu Ummul Qais. Sehingga pada waktu itu
terkenal sebuah istilah muhajjir Ummul Qais atau yang berhijrah karena Ummul
Qais. Niat biasanya diartikan sebagai getaran batin untuk menentukan jenis
ibadah yang kita lakukan.
Contoh, kalau kita melakukan shalat pukul 05.30, ada beberapa kemungkinan; shalat Syukrul Wudhu, shalat Tahiyatul Masjid, shalat Fajar, Istikharah, atau shalat Shubuh. Setidaknya ada enam kemungkinan. Kita lihat semuanya sama, gerakannya sama, bacaannya sama, rakaatnya sama, tapi ada satu yang membedakannya yaitu niat. Masalah niat termasuk salah satu masalah yang mendapatkan perhatian "serius" dalam kajian Islam.
Niat dibahas panjang lebar baik itu dalam ilmu fikih, ushul fikih, maupun akhlak. Dalam ilmu fikih, niat ditempatkan sebagai rukun pertama dari rangkaian ibadah, seperti dalam shalat, zakat, puasa, maupun ibadah haji. Niat dalam ushul fikih biasanya dijadikan salah satu faktor yang menentukan status hukum suatu perbuatan. Nikah adalah salah satu contohnya. Ia bisa berstatus wajib, haram, dan sunnat, tergantung pada niat dari nikah tersebut.
Begitu pula ketika seseorang memakai gelar haji setelah pulang dari Makkah, hukumnya bisa wajib, bisa sunnat, bahkan haram. Tingkatannya sangat tergantung pada niat untuk apa ia memakai gelar haji tersebut. Niat dalam sudut pandang akhlak pengertiannya lebih menunjukkan getaran batin yang menentukan kuantitas sebuah amal. Shalat yang kita lakukan dengan jumlah rakaat yang sama, waktu yang sama, dan bacaan yang sama, penilaian bisa berbeda antara satu orang dengan yang lainnya tergantung kualitas niatnya.
Niat yang tertinggi kualitasnya disebut ikhlas; sedangkan niat yang paling rendah kualitasnya disebut riya atau sum'ah, yaitu beribadah karena mengharapkan sesuatu selain keridhaan Allah. Rasulullah SAW pernah menyampaikan kekhawatiran tentang sesuatu yang di kemudian hari bisa menjangkiti umatnya.
Contoh, kalau kita melakukan shalat pukul 05.30, ada beberapa kemungkinan; shalat Syukrul Wudhu, shalat Tahiyatul Masjid, shalat Fajar, Istikharah, atau shalat Shubuh. Setidaknya ada enam kemungkinan. Kita lihat semuanya sama, gerakannya sama, bacaannya sama, rakaatnya sama, tapi ada satu yang membedakannya yaitu niat. Masalah niat termasuk salah satu masalah yang mendapatkan perhatian "serius" dalam kajian Islam.
Niat dibahas panjang lebar baik itu dalam ilmu fikih, ushul fikih, maupun akhlak. Dalam ilmu fikih, niat ditempatkan sebagai rukun pertama dari rangkaian ibadah, seperti dalam shalat, zakat, puasa, maupun ibadah haji. Niat dalam ushul fikih biasanya dijadikan salah satu faktor yang menentukan status hukum suatu perbuatan. Nikah adalah salah satu contohnya. Ia bisa berstatus wajib, haram, dan sunnat, tergantung pada niat dari nikah tersebut.
Begitu pula ketika seseorang memakai gelar haji setelah pulang dari Makkah, hukumnya bisa wajib, bisa sunnat, bahkan haram. Tingkatannya sangat tergantung pada niat untuk apa ia memakai gelar haji tersebut. Niat dalam sudut pandang akhlak pengertiannya lebih menunjukkan getaran batin yang menentukan kuantitas sebuah amal. Shalat yang kita lakukan dengan jumlah rakaat yang sama, waktu yang sama, dan bacaan yang sama, penilaian bisa berbeda antara satu orang dengan yang lainnya tergantung kualitas niatnya.
Niat yang tertinggi kualitasnya disebut ikhlas; sedangkan niat yang paling rendah kualitasnya disebut riya atau sum'ah, yaitu beribadah karena mengharapkan sesuatu selain keridhaan Allah. Rasulullah SAW pernah menyampaikan kekhawatiran tentang sesuatu yang di kemudian hari bisa menjangkiti umatnya.
Beliau bersabda :
"Sesungguhnya ada
sesuatu yang aku takutkan di antara sesuatu yang paling aku takutkan menimpa
umatku kelak, yaitu syirik kecil."
Para sahabat bertanya : "Apakah syirik kecil itu?"
Para sahabat bertanya : "Apakah syirik kecil itu?"
Beliau menjawab :
"riya."
Dalam sebuah
hadis diceritakan pula bahwa di akhirat kelak akan ada sekelompok orang yang
mengeluh, merangkak, dan menangis.
Mereka berkata,
"Ya Allah di dunia kami rajin melakukan shalat, tapi kami dicatat sebagai orang
yang tidak mau melakukan shalat".
Para malaikat menjawab :
Para malaikat menjawab :
"Tidakkah kalian
ingat pada waktu kalian melakukan shalat kalian bukan mengharap ridha Allah,
tapi kalian mengharap pujian dari manusia, kalau itu yang kalian cari, maka
carilah manusia yang kau harapkan pujiannya itu."
Jelaslah, bahwa
kualitas sebuah amal berbanding lurus dengan kualitas niat yang
melatarbelakanginya.
Bila niat kita lurus, maka lurus pula amal kita. Tetapi bila niat kita bengkok, maka amal kita pun akan bengkok. Agar niat kita senantiasa lurus dan ikhlas, alangkah baiknya apabila kita menghayati kembali janji-janji yang selalu kita ucapkan saat shalat, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah seru sekalian alam".
Bila niat kita lurus, maka lurus pula amal kita. Tetapi bila niat kita bengkok, maka amal kita pun akan bengkok. Agar niat kita senantiasa lurus dan ikhlas, alangkah baiknya apabila kita menghayati kembali janji-janji yang selalu kita ucapkan saat shalat, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah seru sekalian alam".
Wallahu a'lam
bish-shawab.
Introspeksi untuk Kehidupan | ||
"Barangsiapa yang
hari ini lebih baik dari kemarin adalah orang yang beruntung. Bila hari ini sama
dengan kemarin, berarti orang merugi. Dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin
adalah orang celaka" (Hadits).
"DUNIA makin
menua, namun tetap cantik dan kian mempesona untuk dipandang dan dinikmati..."
Kalimat itu, menurut sebuah riwayat, diucapkan Malaikat Jibril dalam peristiwa
Isra Mi'raj. Hal itu dikemukakannya ketika menjawab pertanyaan Rasulullah SAW,
setelah beliau "diganggu" oleh seorang wanita tua namun tetap menampakkan
kejelitaannya. Wanita tua yang menunggang kuda dan berteriak, "Ya Muhammad... Ya
Muhammad!"
Kiranya, kisah di atas bisa menjadi "starting point" renungan kita pada tahun baru Masehi yang baru saja kita lalui. Kisah itu seharusnya mampu menyadarkan kita, betapa tahun berganti merupakan pertambahan usia bagi kita juga bagi dunia ini yang makin renta namun kian jelita ini. Sayangnya, banyak orang (termasuk kita?) malah merayakannya dengan bersenang-senang. Kita seakan tidak peduli bahwa dunia ini makin "renta" dan kian dekat pada "kematiannya" (kiamat). Pergantian tahun merupakan momen penting untuk melakukan introspeksi diri (muhasabah), menghitung-hitung kualitas iman, ilmu, dan amal yang telah kita perbuat. Umar bin Khathab menyatakan, ''Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah amal-amal kalian sebelum ditimbang.
Bersiaplah untuk menghadapi hari yang amat dahsyat. Pada hari itu segala sesuatu yang ada pada diri kalian menjadi jelas, tidak ada yang tersembunyi'.' Bagi seorang Muslim, sebenarnya setiap pergantian waktu, hari demi hari, bahkan mungkin detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam, merupakan momentum untuk introspeksi menuju kualitas iman, ilmu, dan amal yang lebih baik.
Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Rasulullah SAW menyatakan, "Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi. Dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka". Kita harus senantiasa mawas diri, mungkin selama ini kita terbuai kehidupan dunia, waktu habis untuk mengejar kesenangan duniawi dengan mengabaikan bekal untuk kehidupan akhirat.
Oleh karena itu, introspeksi diri harus senantiasa dilakukan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Kehidupan dunia ini hanyalah persinggahan sementara untuk menuju alam akhirat. Di alam persinggahan inilah saatnya mengumpulkan bekal berupa amal saleh. Pergantian tahunjuga hari demi hari mengingatkan kita bahwa "jatah hidup" kita di dunia ini makin berkurang. Imam Hasan Al-Basri mengatakan, ''Wahai anak Adam, sesungguhnya Anda bagian dari hari, apabila satu hari berlalu, maka berlalu pulalah sebagian hidupmu". DALAM menjalani kehidupan di dunia ini kita bergelut dan berpacu dengan waktu. Dan bagi seorang Muslim, waktu sangat penting artinya. Bahkan dalam QS Al-'Ashr:1-3 Allah SWT bersumpah dengan waktu. Hal itu menunjukkan betapa kita harus mempergunakan waktu hidup di dunia ini untuk beriman dan beramal shaleh. Terlebih, dalam ayat tersebut dinyatakan, semua manusia akan merugi kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Dalam proses introspeksi, kita bisa mengajukan pertanyaan: apakah waktu kita yang telah berlalu itu telah kita isi dengan amal ibadah?
Apa yang masih kurang dalam diri kita, menyangkut iman, ilmu, dan amal? Lalu apa yang akan kita lakukan untuk hari-hari ke depan? Kita bisa memulainya dengan melakukan "pengenalan diri" (ma'rifatunnafsi). Menurut Imam Al-Ghazali, pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan. Nabi SAW menyatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya sendiri, akan mengetahui Tuhannya".
Yang dimaksud "mengetahui diri", kata Al-Ghazali, bukanlah mengenali bentuk luar diri kita, bukan pula tentang sekadar tahu bahwa kalau kita lapar harus makan. Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya adalah pengetahuan tentang: siapakah Anda? Dari mana Anda datang? Ke mana Anda pergi Di manakah sebenarnya kebahagiaan dan kesedihan? Demikian menurut Al-Ghazali. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja menuntun kita untuk ma'rifatunnafsi (mengenal diri sendiri) yang pada gilirannya mengarah pada ma'rifatullah (mengenal Allah). Jika kita sudah mengenal Allah SWT, tentunya keimanan kita pada-Nya pun akan semakin kuat. Jika sudah kuat sikap tauhid kita, insya Allah, tingkat ketakwaan pun akan meningkat, hasilnya adalah kebahagiaan dunia akhirat.
Barangkali, secara sederhana pertanyaan yang dikemukakan Al-Ghazali tadi dapat kita jawab: kita adalah manusia, makhluk dan hamba Allah SWT yang harus mengabdi pada-Nya, khalifah-Nya di muka bumi, dan pengemban amanah-Nya (QS 51:56, 98:5, 2:21, 33:72, 2:30, 27:62, 35:39); kita datang dari "alam ruh" untuk menjalani kehidupan dunia yang merupakan ajang ujian dari-Nya (QS Al-Kahfi: 7); kita akan pergi menuju "alam akhirat" yang kekal, untuk mempertanggungjawabkan segala amal yang pernah dilakukan.
Jawaban sederhana atau singkat itu tentu saja membutuhkan penelaahan lebih jauh dan penggalian melalui Alquran dan Hadits, plus renungan untuk mencari kebenaran. Mengenal diri berarti mengetahui hakikat hidup dan tujuannya, termasuk mengetahui arti keberadaan kita di alam dunia ini. Orang yang "lupa diri" tentu akan mengabaikan status dan fungsinya di dunia ini.
Ia tidak akan peduli tentang hakikat hidup, siapa dirinya, dan mengabaikan perintah dan larangan Tuhannya. MENGENAL diri juga bermakna mengenal siapa sebenarnya manusia. Manusia adalah makhluk Allah SWT yang dimuliakan oleh-Nya, mempunyai kelebihan dibanding makhluk lain yaitu akal. Dengan akalnya manusia dapat memahami segala fenomena alam (ayat kauniyah), menerjemahkan dan mempraktekkan wahyu Allah SWT (ayat qauliyah), dan menciptakan kebudayaan untuk mengatasi persoalan hidup. Agar tidak berlaku sombong dan "sadar diri", salah satu cara adalah menyadari bahwa asal penciptaan kita adalah air mani. Dan, ketika mati tubuh manusia menyatu dengan tanah, tinggal tulang-belulang. Tubuh indah dan wajah tampan atau paras cantik berakhir sudah ketika mati. Sementara ruh kita kembali menghadap Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan kita, rezeki kita, amanat yang kita terima, termasuk sejauh mana implementasi perjanjian kita dengan Allah di "alam ruh" di mana kita mengakui Allah sebagai Tuhan (QS. 7:172). Maka dari itu, "Hendaklah setiap diri memperhatikan (melakukan introspeksi) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (alam akhirat)" (QS. 59:18). Wallahu a'lam.
Kiranya, kisah di atas bisa menjadi "starting point" renungan kita pada tahun baru Masehi yang baru saja kita lalui. Kisah itu seharusnya mampu menyadarkan kita, betapa tahun berganti merupakan pertambahan usia bagi kita juga bagi dunia ini yang makin renta namun kian jelita ini. Sayangnya, banyak orang (termasuk kita?) malah merayakannya dengan bersenang-senang. Kita seakan tidak peduli bahwa dunia ini makin "renta" dan kian dekat pada "kematiannya" (kiamat). Pergantian tahun merupakan momen penting untuk melakukan introspeksi diri (muhasabah), menghitung-hitung kualitas iman, ilmu, dan amal yang telah kita perbuat. Umar bin Khathab menyatakan, ''Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah amal-amal kalian sebelum ditimbang.
Bersiaplah untuk menghadapi hari yang amat dahsyat. Pada hari itu segala sesuatu yang ada pada diri kalian menjadi jelas, tidak ada yang tersembunyi'.' Bagi seorang Muslim, sebenarnya setiap pergantian waktu, hari demi hari, bahkan mungkin detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam, merupakan momentum untuk introspeksi menuju kualitas iman, ilmu, dan amal yang lebih baik.
Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Rasulullah SAW menyatakan, "Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi. Dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka". Kita harus senantiasa mawas diri, mungkin selama ini kita terbuai kehidupan dunia, waktu habis untuk mengejar kesenangan duniawi dengan mengabaikan bekal untuk kehidupan akhirat.
Oleh karena itu, introspeksi diri harus senantiasa dilakukan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Kehidupan dunia ini hanyalah persinggahan sementara untuk menuju alam akhirat. Di alam persinggahan inilah saatnya mengumpulkan bekal berupa amal saleh. Pergantian tahunjuga hari demi hari mengingatkan kita bahwa "jatah hidup" kita di dunia ini makin berkurang. Imam Hasan Al-Basri mengatakan, ''Wahai anak Adam, sesungguhnya Anda bagian dari hari, apabila satu hari berlalu, maka berlalu pulalah sebagian hidupmu". DALAM menjalani kehidupan di dunia ini kita bergelut dan berpacu dengan waktu. Dan bagi seorang Muslim, waktu sangat penting artinya. Bahkan dalam QS Al-'Ashr:1-3 Allah SWT bersumpah dengan waktu. Hal itu menunjukkan betapa kita harus mempergunakan waktu hidup di dunia ini untuk beriman dan beramal shaleh. Terlebih, dalam ayat tersebut dinyatakan, semua manusia akan merugi kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Dalam proses introspeksi, kita bisa mengajukan pertanyaan: apakah waktu kita yang telah berlalu itu telah kita isi dengan amal ibadah?
Apa yang masih kurang dalam diri kita, menyangkut iman, ilmu, dan amal? Lalu apa yang akan kita lakukan untuk hari-hari ke depan? Kita bisa memulainya dengan melakukan "pengenalan diri" (ma'rifatunnafsi). Menurut Imam Al-Ghazali, pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan. Nabi SAW menyatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya sendiri, akan mengetahui Tuhannya".
Yang dimaksud "mengetahui diri", kata Al-Ghazali, bukanlah mengenali bentuk luar diri kita, bukan pula tentang sekadar tahu bahwa kalau kita lapar harus makan. Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya adalah pengetahuan tentang: siapakah Anda? Dari mana Anda datang? Ke mana Anda pergi Di manakah sebenarnya kebahagiaan dan kesedihan? Demikian menurut Al-Ghazali. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja menuntun kita untuk ma'rifatunnafsi (mengenal diri sendiri) yang pada gilirannya mengarah pada ma'rifatullah (mengenal Allah). Jika kita sudah mengenal Allah SWT, tentunya keimanan kita pada-Nya pun akan semakin kuat. Jika sudah kuat sikap tauhid kita, insya Allah, tingkat ketakwaan pun akan meningkat, hasilnya adalah kebahagiaan dunia akhirat.
Barangkali, secara sederhana pertanyaan yang dikemukakan Al-Ghazali tadi dapat kita jawab: kita adalah manusia, makhluk dan hamba Allah SWT yang harus mengabdi pada-Nya, khalifah-Nya di muka bumi, dan pengemban amanah-Nya (QS 51:56, 98:5, 2:21, 33:72, 2:30, 27:62, 35:39); kita datang dari "alam ruh" untuk menjalani kehidupan dunia yang merupakan ajang ujian dari-Nya (QS Al-Kahfi: 7); kita akan pergi menuju "alam akhirat" yang kekal, untuk mempertanggungjawabkan segala amal yang pernah dilakukan.
Jawaban sederhana atau singkat itu tentu saja membutuhkan penelaahan lebih jauh dan penggalian melalui Alquran dan Hadits, plus renungan untuk mencari kebenaran. Mengenal diri berarti mengetahui hakikat hidup dan tujuannya, termasuk mengetahui arti keberadaan kita di alam dunia ini. Orang yang "lupa diri" tentu akan mengabaikan status dan fungsinya di dunia ini.
Ia tidak akan peduli tentang hakikat hidup, siapa dirinya, dan mengabaikan perintah dan larangan Tuhannya. MENGENAL diri juga bermakna mengenal siapa sebenarnya manusia. Manusia adalah makhluk Allah SWT yang dimuliakan oleh-Nya, mempunyai kelebihan dibanding makhluk lain yaitu akal. Dengan akalnya manusia dapat memahami segala fenomena alam (ayat kauniyah), menerjemahkan dan mempraktekkan wahyu Allah SWT (ayat qauliyah), dan menciptakan kebudayaan untuk mengatasi persoalan hidup. Agar tidak berlaku sombong dan "sadar diri", salah satu cara adalah menyadari bahwa asal penciptaan kita adalah air mani. Dan, ketika mati tubuh manusia menyatu dengan tanah, tinggal tulang-belulang. Tubuh indah dan wajah tampan atau paras cantik berakhir sudah ketika mati. Sementara ruh kita kembali menghadap Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan kita, rezeki kita, amanat yang kita terima, termasuk sejauh mana implementasi perjanjian kita dengan Allah di "alam ruh" di mana kita mengakui Allah sebagai Tuhan (QS. 7:172). Maka dari itu, "Hendaklah setiap diri memperhatikan (melakukan introspeksi) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (alam akhirat)" (QS. 59:18). Wallahu a'lam.
Kaya Jiwa
|
||
Bukanlah orang
kaya itu karena banyak harta-benda, akan tetapi orang kaya adalah orang yang
jiwanya kaya (Al-Hadits).
Kata "kaya" ini
telah mengilhami jutaan orang di dunia untuk melakukan apa saja : berpikir,
bekerja, menipu, mencuri, dan lainnya.
Karl Marx, sempat menggegerkan panggung sejarah dunia gara-gara pikiran-pikirannya tentang kaya dan kekayaan. Orang-orang kaya disebutnya kaum borjuis. Baginya kaum borjuis adalah biang segala malapetaka kesengsaraan para buruh yang disebutnya sebagai kaum proletar. Ia ingin buruh-buruh itu pun ikut menikmati kekayaan seperti para borjuis.
Lain halnya dengan para pemikir kapitalis semacam Warner Sombart, Grossman, Dukheim, ataupun Weber. Mereka beranggapan bahwa kebebasan manusia justru terletak pada kebebasan memiliki kekayaan sejauh ia sanggup dan mampu. Dalam dunia kapitalisme ataupun sosialisme, hal keadaan kaya atau tidak diukur dengan ukuran meterial-bendawi.
Orang yang paling banyak harta dialah yang paling kaya. Mereka yang sedikit saja berkesempatan menikmati kekayaan disebutlah miskin. Mudah pula diterka bahwa dalam pikiran-pikiran materialistis semacam itu banyaknya harta adalah jaminan bagi seseorang untuk menjadi sejahtera dan bahagia. Tanpa harta di genggaman tangan tak akan pernah ada kebahagiaan.
Kecintaan pada harta dan kekayaan bukan hal yang aneh dalam diri manusia. Sejak diciptakan manusia dilekati tabiat cinta pada harta, kekayaan, dan materi. Firman Allah :
Karl Marx, sempat menggegerkan panggung sejarah dunia gara-gara pikiran-pikirannya tentang kaya dan kekayaan. Orang-orang kaya disebutnya kaum borjuis. Baginya kaum borjuis adalah biang segala malapetaka kesengsaraan para buruh yang disebutnya sebagai kaum proletar. Ia ingin buruh-buruh itu pun ikut menikmati kekayaan seperti para borjuis.
Lain halnya dengan para pemikir kapitalis semacam Warner Sombart, Grossman, Dukheim, ataupun Weber. Mereka beranggapan bahwa kebebasan manusia justru terletak pada kebebasan memiliki kekayaan sejauh ia sanggup dan mampu. Dalam dunia kapitalisme ataupun sosialisme, hal keadaan kaya atau tidak diukur dengan ukuran meterial-bendawi.
Orang yang paling banyak harta dialah yang paling kaya. Mereka yang sedikit saja berkesempatan menikmati kekayaan disebutlah miskin. Mudah pula diterka bahwa dalam pikiran-pikiran materialistis semacam itu banyaknya harta adalah jaminan bagi seseorang untuk menjadi sejahtera dan bahagia. Tanpa harta di genggaman tangan tak akan pernah ada kebahagiaan.
Kecintaan pada harta dan kekayaan bukan hal yang aneh dalam diri manusia. Sejak diciptakan manusia dilekati tabiat cinta pada harta, kekayaan, dan materi. Firman Allah :
"Dijadikan indah
pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imran:
14).
Karena itu tidak
mengherankan apabila menjadi kaya dengan banyak harta benda menjadi idaman
banyak orang. Bagi yang tidak terus berfikir (jahil) selesailah kebenaran hidup
sampai di situ.
Bagi yang mau terus berpikir dan merenung, sabda Rasulullah di awal tulisan ini tentu akan mencengangkan. Beliau mengatakan salah besar bila kita mengukur kebahagiaan dengan banyaknya harta benda. Orang kaya adalah orang yang 'kaya' jiwanya. Kaya jiwa adalah sebuah sikap jiwa yang senantiasa merasa cukup dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup paling minimal, sekalipun melimpah ruah di sekelilingnya. Hal ini kemudian akan memunculkan sikap menerima apa adanya (qana'ah).
Contoh paling jelas adalah Rasulullah sendiri. Kurang apa beliau? Seperlima harta rampasan perang menjadi miliknya. Puluhan kali beliau memenangkan perang dan hanya sekali mengalami kekalahan. Tentu saja harta rampasan itu cukup untuk menjadikan Rasul orang terkaya pada masanya. Belum lagi para sahabat di sekelilingnya.
Sahabat mana yang tidak akan merelakan hartanya untuk dipersembahkan pada Rasul. Sebuah kehormatan bagi mereka dapat membahagiakan Sang Maestro Dunia itu. Pendek kata, sangat banyak potensi yang dimiliki nabi untuk menjadi kaya dalam ukuran nominal. Tapi bagaimana kenyataannya? Rumah beliau masih tetap seperti saat pertama kali datang ke Madinah. Rumahnya sangat kecil; hanya sambungan masjid pula.
Nabi adalah orang yang paling suka sehari makan sehari puasa. Baju pun seringkali sobek dan ditambalinya sendiri. Lalu ke mana harta rampasan perang, hadiah dari sahabat-sahabatnya, dan dari tempat-tempat lain yang barangkali tidak kita tahu? Tak pernah ia gunakan harta itu untuk kesenangan pribadinya.
Ia telah merasa cukup dan tidak berkekurangan dengan keadaan seperti itu. Ia sedekahkan sesisanya. Diurusinya anak yatim; diberinya makan fakir miskin; siapapun yang meminta tak pernah ia tolak. Seperti itulah Rosul yang kaya. Allah sendiri yang menyebutnya orang kaya: "dan Ia dapati engkau dalam keadaan miskin, lalu Ia memberi kekayaan"(QS. Al-Dhuha: 8). Jiwanya yang kaya itu membuatnya benar-benar "kaya".
Bagi yang mau terus berpikir dan merenung, sabda Rasulullah di awal tulisan ini tentu akan mencengangkan. Beliau mengatakan salah besar bila kita mengukur kebahagiaan dengan banyaknya harta benda. Orang kaya adalah orang yang 'kaya' jiwanya. Kaya jiwa adalah sebuah sikap jiwa yang senantiasa merasa cukup dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup paling minimal, sekalipun melimpah ruah di sekelilingnya. Hal ini kemudian akan memunculkan sikap menerima apa adanya (qana'ah).
Contoh paling jelas adalah Rasulullah sendiri. Kurang apa beliau? Seperlima harta rampasan perang menjadi miliknya. Puluhan kali beliau memenangkan perang dan hanya sekali mengalami kekalahan. Tentu saja harta rampasan itu cukup untuk menjadikan Rasul orang terkaya pada masanya. Belum lagi para sahabat di sekelilingnya.
Sahabat mana yang tidak akan merelakan hartanya untuk dipersembahkan pada Rasul. Sebuah kehormatan bagi mereka dapat membahagiakan Sang Maestro Dunia itu. Pendek kata, sangat banyak potensi yang dimiliki nabi untuk menjadi kaya dalam ukuran nominal. Tapi bagaimana kenyataannya? Rumah beliau masih tetap seperti saat pertama kali datang ke Madinah. Rumahnya sangat kecil; hanya sambungan masjid pula.
Nabi adalah orang yang paling suka sehari makan sehari puasa. Baju pun seringkali sobek dan ditambalinya sendiri. Lalu ke mana harta rampasan perang, hadiah dari sahabat-sahabatnya, dan dari tempat-tempat lain yang barangkali tidak kita tahu? Tak pernah ia gunakan harta itu untuk kesenangan pribadinya.
Ia telah merasa cukup dan tidak berkekurangan dengan keadaan seperti itu. Ia sedekahkan sesisanya. Diurusinya anak yatim; diberinya makan fakir miskin; siapapun yang meminta tak pernah ia tolak. Seperti itulah Rosul yang kaya. Allah sendiri yang menyebutnya orang kaya: "dan Ia dapati engkau dalam keadaan miskin, lalu Ia memberi kekayaan"(QS. Al-Dhuha: 8). Jiwanya yang kaya itu membuatnya benar-benar "kaya".
Keutamaan Akhlak
|
||
Secara etimotogi
(bahasa), akhlak terambil dari akar kata bahasa Arab khuluk yang berarti tabiat,
muruah, kebiasaan, fitrah, naluri, dan lain-lain.
Secara syar'i,
seperti dikatakan Al Ghazali, akhlak berarti sesuatu yang menggambarkan tentang
perilaku seseorang yang terdapat dalam jiwa yang baik, yang darinya keluar
perbuatan secara mudah dan otomatis tanpa terpikir sebelumnya.
Jika sumber perilaku itu didasari oleh perbuatan yang baik dan mulia, yang dapat dibenarkan oleh akal dan syariat, maka ia dinamakan akhlak yang mulia. Namun, jika sebaliknya, maka akan dinamakan akhlak yang tercela. Abu Hurairah ra mengabarkan bahwa suatu saat Rasulullah pernah ditanya tentang kriteria orang yang paling banyak masuk surga.
Jika sumber perilaku itu didasari oleh perbuatan yang baik dan mulia, yang dapat dibenarkan oleh akal dan syariat, maka ia dinamakan akhlak yang mulia. Namun, jika sebaliknya, maka akan dinamakan akhlak yang tercela. Abu Hurairah ra mengabarkan bahwa suatu saat Rasulullah pernah ditanya tentang kriteria orang yang paling banyak masuk surga.
Beliau menjawab,
''Takwa kepada Allah dan akhlak yang Baik'' (HR Tirmidzi dan Ahmad).
Tatkala Rasulullah SAW menasehati sahabatnya, beliau menggandengkan antara nasihat untuk bertakwa dengan nasihat untuk bergaul atau berakhlak yang baik kepada manusia, sebagaimana hadits dari Abi Dzar. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada dan balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya kebaikan itu akan menutupi kejelekan dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.'' (HR Tirmidzi).
Benar, tauhid adalah sisi pokok atau inti Islam, yang juga harus diutamakan. Namun, tidak berarti mengabaikan akhlak sebagai penyempurna. Tauhid dan akhlak sangat berkaitan erat, karena tauhid merupakan realisasi akhlak seorang hamba terhadap Allah. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baik manusia.
Semakin sempurna tauhid seseorang, akan semakin baik pula akhlaknya, dan sebaliknya bila seorang hamba memiliki akhlak yang buruk berarti lemah tauhidnya. Akhlak juga merupakan tolak ukur kesempurnaan iman seorang hamba sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW, ''Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.'' (HR Tirmidzi dan Ahmad).
Dimensi akhlak dalam Islam mencakup beberapa hal yaitu: -Akhlak kepada Allah SWT dengan cara mencintai-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, malu kepada-Nya untuk berbuat maksiat, selalu bertobat, bertawakal, takut akan azab-Nya dan senantiasa berharap akan rahmat-Nya.
Tatkala Rasulullah SAW menasehati sahabatnya, beliau menggandengkan antara nasihat untuk bertakwa dengan nasihat untuk bergaul atau berakhlak yang baik kepada manusia, sebagaimana hadits dari Abi Dzar. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada dan balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya kebaikan itu akan menutupi kejelekan dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.'' (HR Tirmidzi).
Benar, tauhid adalah sisi pokok atau inti Islam, yang juga harus diutamakan. Namun, tidak berarti mengabaikan akhlak sebagai penyempurna. Tauhid dan akhlak sangat berkaitan erat, karena tauhid merupakan realisasi akhlak seorang hamba terhadap Allah. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baik manusia.
Semakin sempurna tauhid seseorang, akan semakin baik pula akhlaknya, dan sebaliknya bila seorang hamba memiliki akhlak yang buruk berarti lemah tauhidnya. Akhlak juga merupakan tolak ukur kesempurnaan iman seorang hamba sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW, ''Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.'' (HR Tirmidzi dan Ahmad).
Dimensi akhlak dalam Islam mencakup beberapa hal yaitu: -Akhlak kepada Allah SWT dengan cara mencintai-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, malu kepada-Nya untuk berbuat maksiat, selalu bertobat, bertawakal, takut akan azab-Nya dan senantiasa berharap akan rahmat-Nya.
-
Akhlak kepada Rasulullah saw dengan cara beradab dan menghormatinya, mentaati dan mencintai beliau, menjadi kaumnya sebagai perantara dalam segala aspek kehidupan, banyak menyebut nama beliau (bersalawat), menerima seluruh ajaran beliau, menghidupkan sunah-sunah beliau, dan lebih mencintai beliau daripada diri kita sendiri, anak kita, bapak kita, dan lain-lain.
-
Akhlak terhadap Alquran dengan cara membacanya dengan khusuk, tartil dan sesempurna, sambil memahaminya, menghapalnya dan mengamalkannya dalam kehidupan riil.
-
Akhlak kepada makhluk Allah SWT mulai diri sendiri, orangtua, kerabat, handai taulan, tetangga dan sesama Mukmin sesuai dengan tuntunan Islam.
-
Akhlak kepada orang kafir dengan cara membenci kekafiran mereka, tetapi tetap berbuat adil kepada mereka, berupa membalas kekejaman mereka atau memaafkannya. Berbuat baik kepada mereka secara manusiawi selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam dan mengajak mereka kepada Islam.
-
Akhlak terhadap makhluk lain termasuk menyayangi binatang yang tidak mengganggu, menjaga tanaman dan tumbuh-tumbuhan dan melestarikannya, dan lain-lain.
Kunci Surga
s | ||
Anak kunci surga
itu adalah ikrar 'Tiada Tuhan selain Allah'. (HR. Al-Bazzar dan Ahmad bin Hambal
dari Mu'adz bin Jabal). Kalimat laa ilaha illallahu (tiada Tuhan selain Allah)
sering pula disebut kalimat thayyibah yang menjadi prinsip dasar ajaran
Islam.
Menurut Prof. Dr. Nurcholis Madjid, kalimat thayyibah ini merupakan senjata paling ampuh untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kemanusiaan dari segala bentuk kepercayaan yang batil. Kalimat "Tiada Tuhan kecuali Allah" terdiri atas penolakan (negasi) dan penetapan (afirmasi).
Penafian di sini adalah ungkapan pertama syahadat, "tiada Tuhan" atau "tiada sesuatu bentuk Tuhan apapun", dengan penetapan yang sempurna, "kecuali Allah". Allah SWT menganalogikan kalimat thayyibah ini dengan sebuah pohon yang kuat lagi tinggi menjulang. Dalam QS. Ibrahim: 24-25, Allah SWT berfirman:
Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhan-Nya.
Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Seorang Muslim yang memahami hakikat kalimat tersebut, kehidupannya akan selalu mencerminkan nilai-nilai ketauhidan bagaikan sebuah pohon yang baik. Cirinya:
Menurut Prof. Dr. Nurcholis Madjid, kalimat thayyibah ini merupakan senjata paling ampuh untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kemanusiaan dari segala bentuk kepercayaan yang batil. Kalimat "Tiada Tuhan kecuali Allah" terdiri atas penolakan (negasi) dan penetapan (afirmasi).
Penafian di sini adalah ungkapan pertama syahadat, "tiada Tuhan" atau "tiada sesuatu bentuk Tuhan apapun", dengan penetapan yang sempurna, "kecuali Allah". Allah SWT menganalogikan kalimat thayyibah ini dengan sebuah pohon yang kuat lagi tinggi menjulang. Dalam QS. Ibrahim: 24-25, Allah SWT berfirman:
Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhan-Nya.
Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Seorang Muslim yang memahami hakikat kalimat tersebut, kehidupannya akan selalu mencerminkan nilai-nilai ketauhidan bagaikan sebuah pohon yang baik. Cirinya:
Pertama,
ketauhidan dan rasa mahabbah kepada Allah akan terhujam di dalam lubuk hatinya
bagaikan pohon yang akarnya teguh menghujam ke bumi.
Ia akan senantiasa lentur diterpa angin, kokoh tidak tercerabut. Seseorang yang bertauhid akan mampu menghadang segala macam tipuan syaitan yang menjerumuskan. Ketauhidan yang telah menancap kokoh di hati akan menyebabkan seorang Muslim rela mengorbankan apa pun juga demi menjaga ketauhidan tersebut, meskipun nyawa harus menjadi taruhannya.
Kedua, ketauhidan yang telah tertancap kokoh di hati akan membawa seorang Muslim ke puncak prestasi. Ia akan menjadi mercusuar bagi yang lain seperti halnya sebuah pohon yang cabangnya menjulang ke langit. Pribadi-pribadi semacam ini dapat kita saksikan pada masa Rasulullah dan para sahabat.
Berbekal ketauhidan mereka dapat menggapai puncak prestasi dalam berbagai bidang kehidupan, seperti dalam politik, militer, ilmu pengetahuan, hingga lapangan kejiwaan dan spiritual. Dengan kalimat tersebut tidak ada lagi penghambaan, ketakutan, dan rintangan yang akan membelenggu karena semuanya dikembalikan kepada Allah sebagai pemilik segalanya.
Ketiga, ketauhidan yang benar akan berbuah ketaatan. Seseorang yang mengenal Allah tentu akan memahami tujuan hidupnya, sehingga ia akan menjalani hidup dengan penuh vitalitas, beribadah dengan penuh keikhlasan dan memahami makna dari semua yang ia lakukan. Karakteristik tersebut pada akhirnya akan membawa rahmat dan cinta kasih yang dapat dipetik bagai buah-buahan segar baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang di sekitarnya.
Seseorang yang bertauhid akan menjadi sosok bermanfaat bagi lingkungannya dan akhlaknya sedap dipandang mata, bagaikan sebuah pohon yang selalu ramah lingkungan, teduh dan menyedapkan pandangan. Maka pantaslah bila ia bisa menjadi kunci pembuka syurga, baik syurga dunia maupun syurga akhirat.
Oleh karena itu, seorang Muslim harus terus menyempurnakan nilai-nilai ketauhidan yang ada pada dirinya. Ia harus terus memupuk dan menyiram pohon ketauhidan tersebut. Ilmu dan mahabbah adalah pupuknya. Dan sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu tentang Allah dan mahabbah tertinggi adalah mencintai-Nya.
Ia akan senantiasa lentur diterpa angin, kokoh tidak tercerabut. Seseorang yang bertauhid akan mampu menghadang segala macam tipuan syaitan yang menjerumuskan. Ketauhidan yang telah menancap kokoh di hati akan menyebabkan seorang Muslim rela mengorbankan apa pun juga demi menjaga ketauhidan tersebut, meskipun nyawa harus menjadi taruhannya.
Kedua, ketauhidan yang telah tertancap kokoh di hati akan membawa seorang Muslim ke puncak prestasi. Ia akan menjadi mercusuar bagi yang lain seperti halnya sebuah pohon yang cabangnya menjulang ke langit. Pribadi-pribadi semacam ini dapat kita saksikan pada masa Rasulullah dan para sahabat.
Berbekal ketauhidan mereka dapat menggapai puncak prestasi dalam berbagai bidang kehidupan, seperti dalam politik, militer, ilmu pengetahuan, hingga lapangan kejiwaan dan spiritual. Dengan kalimat tersebut tidak ada lagi penghambaan, ketakutan, dan rintangan yang akan membelenggu karena semuanya dikembalikan kepada Allah sebagai pemilik segalanya.
Ketiga, ketauhidan yang benar akan berbuah ketaatan. Seseorang yang mengenal Allah tentu akan memahami tujuan hidupnya, sehingga ia akan menjalani hidup dengan penuh vitalitas, beribadah dengan penuh keikhlasan dan memahami makna dari semua yang ia lakukan. Karakteristik tersebut pada akhirnya akan membawa rahmat dan cinta kasih yang dapat dipetik bagai buah-buahan segar baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang di sekitarnya.
Seseorang yang bertauhid akan menjadi sosok bermanfaat bagi lingkungannya dan akhlaknya sedap dipandang mata, bagaikan sebuah pohon yang selalu ramah lingkungan, teduh dan menyedapkan pandangan. Maka pantaslah bila ia bisa menjadi kunci pembuka syurga, baik syurga dunia maupun syurga akhirat.
Oleh karena itu, seorang Muslim harus terus menyempurnakan nilai-nilai ketauhidan yang ada pada dirinya. Ia harus terus memupuk dan menyiram pohon ketauhidan tersebut. Ilmu dan mahabbah adalah pupuknya. Dan sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu tentang Allah dan mahabbah tertinggi adalah mencintai-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar