Jumat, 03 Mei 2013

Ma`rifat

                                    Animasi Islam Assalamu'alaikum

Menjadikan Anggota Keluarga Ahli Ma`rifat
Laporan :

Ada dua peran yang saling melengkapi di dalam keluarga, yaitu peran karakter orangtua dan peran karakter anak. Interaksi antar karakter pembentuk keluarga itulah yang menentukan sakinah, mawaddah, wa rahmah-nya sebuah keluarga.

Syarat mutlak agar hubungan yang terjadi menciptakan kondisi keluarga sakinah, adalah para karakter yang berperan dalam interaksi tersebut harus menjadi ahli ma`rifat. Sebagai penanggungjawab, orangtua wajib memelopori kegiatan pemahaman yang mendalam terhadap ilmu ma'rifatullah, ma'rifatun nabi, dan ma'rifatuddin dalam lingkup keluarganya. Diharapkan, seluruh anggota keluarga dapat menginsyafi tujuan mulia yang terkandung didalam ketiga cabang kema'rifatan tersebut.

Dalam konteks keluarga, ma`rifatullah bertujuan agar seluruh anggota keluarga mengetahui siapa Tuhannya dan melalui apa mereka dapat mengenali Tuhannya. Melalui ma`rifatuddin seluruh anggota keluarga diharapkan mengetahui dengan cara apa mereka dapat berserah diri kepada Allah SWT dan mengukur kedekatan mereka dengan sang Khaliq.
Kemudian, seluruh anggota keluarga diharapkan dapat mengenali teladan dari kalangan manusia yang dapat ditiru dalam hal ketauhidan dan praktek ibadah yang benar dan sempurna melalui pemahaman terhadap ma`rifatun nabi. Ikhtiar ini akan membawa seluruh keluarga menjadi ahli ma`rifat.

Menurut Junaid al-Baghdadi, ahli ma`rifat memiliki sifat-sifat seperti:
(1) mengenal Allah SWT seakan-akan ia dapat berhubungan langsung dengannya;
(2) Beramal sesuai petunjuk dari Rasulullah SAW;
(3) Berserah diri kepada Allah SWT dalam mengendalikan hawa nafsunya;
(4) Merasa bahwa dirinya adalah milik Allah SWT dan suatu saat akan kembali padanya.

Dari sifat-sifat yang dikemukakan diatas, anggota keluarga yang juga seorang ahli ma`rifat selalu mempunyai solusi dan cara-cara yang tepat dalam menyikapi masalah yang sering timbul dalam keluarga. Seorang ayah sebagai seorang pemimpin keluarga, tidak akan berlaku sewenang-wenang kepada istri dan anak-anaknya, karena ia telah mengenal Allah Azza wa Jalla dalam pengertian seakan-akan selalu berhubungan langsung dengan-Nya. Ia akan merasa bahwa Allah senantiasa menyaksikan apa yang ia perbuat.

Contoh berikutnya, adalah ketika seorang istri tertarik dengan perhiasan yang harganya sangat mahal. Jika ia tidak pernah mengkaji dan mendapatkan keteladanan dalam hal kema`rifatan oleh suami, maka bisa dipastikan bahwa ia akan terus menuntut dibelikan barang tersebut, padahal ia dan suami belum tentu memiliki cukup uang untuk membeli benda yang diinginkan. Namun jika ia memiliki sifat ahli ma`rifat maka ia tidak akan menuntut banyak kepada suami. Istri dengan sifat ahli ma`rifat ini, dapat mengekang keinginannya yang berasal dari hawa nafsu tersebut. Itu terjadi karena ia telah terbiasa berserah diri kepada Allah dalam mengendalikan hawa nafsunya.

Sebuah keluarga yang beranggotakan ahli ma`rifat, akan dijauhkan dari perasaan suka cita yang berlebihan dan perasaan duka yang tak berkesudahan. Jika seorang ayah dan suami misalnya diamanahi pangkat dan jabatan, maka istri dan anak-anaknya akan mengingatkan kepala keluarga mereka untuk selalu berpedoman pada petunjuk Allah SWT dalam setiap langkah menjalani jabatan tersebut. Keluarga tersebut tidak akan berfoya-foya merayakan pengangkatan itu, karena mereka menganggap bahwa jabatan hanyalah sesuatu yang bersifat sementara.

Contoh selanjutnya mengenai sikap keluarga ahli ma`rifat adalah ketika keluarga itu ditinggalkan wafat oleh salah satu anggota keluarga. Keluarga tersebut tidak akan membiarkan diri mereka terus-menerus dirundung duka. Merekapun tak akan menolak keputusan yang sudah digariskan oleh Allah Azza Wa Jalla itu. Mereka akan mampu mengusir kedukaan, karena merasa bahwa segala sesuatu adalah milik Allah Ta`ala serta akan kembali pula kepada-Nya tak terkecuali dirinya juga.

Untuk mencapai maqam keluarga yang sakinah, mawaddah, dan wa rahmah berlandaskan kema`rifatan ini, terdapat berbagai problem yang senantiasa merintangi terwujudnya kondisi tersebut. Agar problem tersebut tidak menjadi pelik atau begitu menghambat, maka mau tak mau pribadi para anggota keluarga harus dididik menjadi ahli ma`rifat.

Pembelajaran, pengamalan, pendakwahan dan kesabaran dalam mengecap kema'rifatan, akan melahirkan pribadi-pribadi dengan sifat-sifat terpuji. Seandainya berkumpul sifat-sifat terpuji tersebut dalam diri kita dan seluruh anggota keluarga, Insya Allah, keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah akan terwujud dalam keluarga kita.
Wallahu a`lam bishshawab.



Sinergi Peran Membentuk Keluarga Unggul
Ukuran keunggulan diri dalam Islam, dinilai dari derajat keimanan dan keihsanan yang terpancar dari pribadi-pribadi Muslim saat beraktivitas dan mensinergikan potensinya menggapai kemaslahatan. Keunggulan individu itu terbentuk melalui tahapan proses. Tahapan yang diawali dari pembentukan karakter dalam suatu wadah atau organisasi bernama keluarga.
 
Sebuah keluarga berkontribusi besar terhadap pembentukan jati diri seseorang. Nilai yang dianut keluarga adalah doktrin awal yang akan mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap berbagai dimensi kehidupan.

Nilai-nilai tersebut akan digunakan sebagai pedoman bersikap dalam interaksi dengan sesama maupun dalam interaksi secara vertikal dengan Allah SWT. Karena pengaruh besar faktor keluarga tersebut, maka kualitas keunggulan pribadi ditentukan pula oleh nilai keunggulan yang dimiliki oleh keluarga tempat ia dilahirkan dan tumbuh.
 
Keunggulan keluarga identik dengan maksimalisasi potensi para anggotanya dalam menempuh ikhtiar mencari ilmu, melakukan kasab, dan ibadah ritual. Titik optimal yang dituju adalah terpenuhinya kebutuhan spiritual dan material tiap-tiap anggota keluarga, sehingga tergolong sejahtera. Pemaksimalan potensi di atas melibatkan berbagai peran dan fungsi yang berbeda. Sesuai dengan potensi bakat dan tuntutan kewajiban yang diemban oleh masing-masing anggota keluarga.
 
Pada lazimnya sebuah keluarga beranggotakan, ayah, ibu, dan anak-anak. Seorang ayah adalah inspirator keluarga yang memberikan ilham keteladanan. Dalam posisinya, seorang ayah dituntut untuk selalu memberikan contoh yang baik dalam segala aktivitas, baik di lingkup internal maupun eksternal keluarga. Dedikasi dan kredibilitas yang dibentuk, hendaknya membawa pribadi seorang ayah kepada ciri-ciri panutan ideal. Supaya kata-katanya didengar, akhlak pribadinya ditiru, dan penyikapannya terhadap aneka permasalahan hidup menjadi sumber inspirasi bagi anggota keluarga lainnya.
 
Kontributor berikutnya dalam pengembangan potensi keluarga adalah peran dan fungsi seorang ibu. Esensi fungsional seorang ibu adalah pengemban amanah dalam dukungan moral spiritual. Bakat kelembutan, ketelatenan, dan kasih sayang yang terpancar dari pribadi seorang ibu adalah perekat hubungan antara sesama anggota keluarga. Melalui potensinya itu, seorang ibu memiliki tanggung jawab bagi terciptanya ketenteraman di dalam rumah tangga.
 
Peran dan fungsi paling akhir dalam optimalisasi keunggulan keluarga terdapat pada anak sebagai generasi penerus. Anak-anak yang diharapkan lahir dari rahim seorang ibu adalah seorang anak yang saleh. Yaitu, seorang anak yang tumbuh dewasa dalam ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.

Sebagai perhiasan dunia dan amanah bagi kedua orang tua, anak-anak adalah harapan dan cita di masa yang akan datang. Lewat optimalisasi pendidikan, keteladanan, dan kasih sayang, anak-anak akan tumbuh sebagai generasi penerus yang unggul. Berkenaan dengan masalah kesalehan seorang anak, Allah SWT telah menjanjikan keutamaan bagi orang tua yang memiliki putra-putri saleh.
 
Menurut janji-Nya tersebut, anak yang saleh merupakan salah satu amal ibadah yang pahalanya akan terus mengalir pada kedua orang tua, kendati ayah dan ibunya telah berpulang ke alam baka. Oleh karenanya, seorang anak berperan sebagai motivator di dalam keluarga. Sebab, anak-anak adalah pemilik hari depan, tempat bergantungnya harapan keberlangsungan keluarga.
 
Akhirnya, semoga umat Islam menyadari bahwa generasi yang unggul terbentuk dari keluarga yang mempunyai keunggulan pula. Keluarga yang unggul adalah keluarga yang para anggota di dalamnya mampu berperan sesuai dengan fungsi amanah yang diembannya. Mereka hendaknya bisa saling memberikan kontribusi positif, hingga keragaman fungsi dan peranan tersebut dapat saling melengkapi. Potensi-potensi yang ada dalam diri mereka akan bersatu membentuk suatu pola yang stabil menjaga kedisiplinan proses.
 
Dengan kedisiplinan proses itulah, tujuan utama dari keluarga unggul yaitu terlahirnya pribadi-pribadi salihin dapat terwujudkan. Semoga Allah Azza Wa Jalla menakdirkan proses di dalam keluarga kita menjadi sarana dan jalan terlahirnya generasi penerus yang unggul, yang akan meneruskan perjuangan bagi tegaknya Islam di atas bumi ini.
  Insya Allah.
  

Ketika Fitnah Perceraian Menjadi Ancaman

Telah dimaklumi bahwa di zaman kita ini, jalan seseorang untuk menikah, laki-laki maupun perempuan, tidaklah mudah. Selalu saja ada kendala-kendala yang menghalangi proses pernikahan itu, baik kendala materi, mentalitas, maupun kultur sosial. Menikah akhirnya menjadi "barang" eksklusif yang tidak dengan mudah bisa dinikmati oleh semua orang.

 Katakanlah, pernikahan itu sudah berlangsung. Setelah sekian lama menanti, penuh kesabaran, rintihan dan doa, akhirnya impian pernikahan itu menjelma menjadi realita. Pernikahan pun terjadi dengan penuh damai, gembira dan selamat. Namun apakah persoalan berhenti sampai disini? 

Ternyata tidak. Sesudah menikah (secara sah dan benar) sepasang suami-isteri harus bahu-membahu, berjuang keras, mengerahkan semua daya yang dimiliki untuk satu pekerjaan besar, yaitu, melawan perceraian. Ya, perceraian. Perceraian adalah monster mengerikan yang senantiasa menghadang mahligai keluarga di tengah jalan.
 
Kenyataannya, tidak sedikit yang mampu menikah, bahkan mampu merayakan resepsi pernikahan dengan biaya bombastis, namun tak lama sesudah itu mereka bercerai, putus ikatan, saling membelakangi satu sama lain dan saling melemparkan sumpah-serapah. Terkadang terlihat lucu memang. Di kala menikah nampak anggun, sakral, penuh doa dan nasehat-nasehat bijak.
 
Akan tetapi sesudah akad diresmikan, pertempuran terjadi di setiap lini, pertengkaran membakar, baik ada atau pun tidak ada masalah. Konflik pun menjadi menu utama mengalahkan pesona menu-menu Perancis yang disajikan dalam buku-buku resep masakan. Ujung dari semua itu, tak lain: perceraian.
 Perceraian ini sungguh telah menjadi "fitnah" bagi kehidupan modern. Kaum muslimah semakin pandai. Nilai-nilai, proses pendidikan dan arus informasi sangat berpengaruh membentuk karakter mereka. Hal ini melahirkan sikap yang cenderung liberal. Di sisi lain, para pemuda tumbuh dalam tekanan-tekanan, dunia kompetisi dan ketidak-ramahan lingkungan. Hal ini membuat urat-urat nadi mereka dialiri darah-darah panas, cepat terbakar, emosional, mudah mengangkat "kartu merah". 
 Problema ini jelas-jelas terasa menakutkan. Sampai-sampai muncul pertanyaan, Tidak adakah kemampuan zaman kita untuk melestarikan keindahan rumah-tangga seperti orangtua-orangtua kita dulu? Entahlah, tapi sebuah komitmen harus diambil, walau untuk itu kita harus berbenturan dengan arus kuat yang tengah deras menerjang. Kita harus berbuat, berjuang keras menyelamatkan keutuhan rumah-tangga. 

Dengan apa kita harus berbuat? Jika harus komitmen, atas dasar apa ia ditegakkan? Masih adakah harapan yang bisa dibina?
 Sebelum menikah hendaknya harus ada kesepakatan yang bulat diterima oleh kedua orang calon untuk menegakkan kehidupan rumah-tangga mereka di atas prinsip ibadah kepada Allah SWT (ibadah lillah). Menikah adalah ibadah. Maka apapun problema yang kemudian terjadi setelah menikah, dicarikan solusinya di sisi tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Al Quran dan sunnah adalah guide sekaligus titik temu yang paling valid untuk semua manusia dengan segala jenis problema. 
 Ketika pengabdian kepada Allah SWT menjadi rujukan tertinggi, maka tidak ada lagi egoisme yang mampu mengalahkan, kerakusan yang menguasai, atau hawa nafsu yang berkobar-kobar. Semua persoalan dikembalikan pada pertanyaan, "Untuk apa sebenarnya kita membangun rumah tangga ini?" Dengan cara ini, segala problema akan berujung dengan hasil: sakinah lahir-bathin, dunia-akhirat.

Bila menyimak realita, sebagian besar perceraian yang terjadi adalah lantaran kita mengacuhkan bimbingan al-Quran dan sunnah. Keduanya seolah monumen yang dibiarkan membisu terkunci di lemari. Pasrahkan diri kita kepada Allah, maka disana akan kita jumpai kebahagiaan yang didambakan. Keluarga kita insya Allah akan tetap utuh hingga kelak bertemu di jannattun na`im Allah. Amin.
 Wallahu a`lam.

Hukuman Tidak Membayar Zakat

Apakah zakat diwajibkan atas seluruh kekayaan yang kita miliki, tanpa kecuali? Islam mewajibkan zakat kekayaan terbatas hanya pada harta yang berkembang. Maksudnya, harta itu tetap berkembang walaupun dibiarkan oleh pemiliknya. Harta yang dizakati disyaratkan harus memiliki kemungkinan untuk berkembang, agar zakat dapat dipungut dari lebihnya dan harta pokok tetap ada.

Kata zakat dalam bahasa Arab berarti tumbuh, sehingga di antara yang menyebabkan wajib zakat adalah adanya pertumbuhan harta. Sehingga para ulama berpendapat tidak mewajibkan zakat atas rumah tempat tinggal, pakaian, alat-alat tumah tangga, hewan tunggangan, senjata yang diperlukan, alat-alat produksi dan buku-buku ilmu pengetahuan karena harta tersebut tidak berkembang dan memang menjadi kebutuhan pokok pemiliknya.

Bolehkah orang fasik diberi zakat?
Para ulama memperkenankan memberi zakat kepada orang fasik, selama ia berada tetap dalam keislamannya, tidak menyakiti kaum Muslim atau perbuatannya melampaui batas, dan untuk memperbaiki tingkah lakunya serta menghormati nilai kemanusiaannya, dan karena zakat itu diambil pula dari orang fasik, maka berhak untuk dikembalikan kepadanya. Walaupun berdasarkan ijma' ulama, orang-orang saleh yang istiqamah lebih utama untuk diberikan zakat.

Apa hukuman di akhirat bagi orang yang tidak membayar zakat?
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda :
"Siapa yang dikaruniai Allah kekayaan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kamat nanti ia akan didatangi oleh seekor ular jantan gundul yang sangat berbisa dan sangat menakutkan dengan dua bintik di atas kedua matanya, lalu melilit dan mematuk lehernya sambil berteriak, 'saya adalah kekayaanmu, saya adalah kekayaanmu yang kau timbun dulu."

Nabi berucap  :
"Janganlah orang-orang yang kikir sekali dengan karunia yang diberikan Allah kepada mereka itu mengira bahwa tindakannya itu baik bagi mereka. Tidak, tetapi buruk bagi mereka; segala yang mereka kikirkan itu dikalungkan dileher mereka nanti pada hari kiamat'.'' (HR Bukhari).

Dalam Hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda, :
"Pemilik emas atau perak yang tidak menunaikan kewajibannya, maka emas atau perak itu nanti pada hari kiamat dijadikan setrikaan, lalu dipanaskan dengan api neraka, kemudian digosokkan ke rusuk, muka, dan punggungnya selama 50 ribu tahun, sampai selesai perhitungannya dengan orang-orang lain, untuk melihat apakah ia masuk surga atau neraka.

Dan pemilik lembu atau kambing yang tidak melaksanakan kewajibannya, maka nanti pada hari kiamat binatang-binatang itu akan menginjak-injaknya dan menandukinya, setelah selesai seekor datang seekor lagi berbuat hal yang sama sampai selesai perhitungannya dengan orang-orang lain, selama 50 tahun menurut perhitungan tahun kalian, untuk melihat apakah ia masuk surga atau masuk neraka." (HR Muslim).

Apakah kewajiban zakat gugur apabila muzakki meninggal dunia?
Berdasarkan pendapat jumhur fuqaha, zakat tidak gugur ditunaikan walaupun muzakki meninggal, karena zakat adalah hak harta yang bersifat wajib, seperti halnya utang. Zakat dapat dikeluarkan dari harta peninggalannya, meski ia tidak mewasiatkannya.

Apakah boleh orang yang khusus mencari ilmu mendapatkan zakat?
Orang yang mencari ilmu termasuk fardhu kifayah, karena ilmu tersebut pun tidak hanya untuk dirinya sendiri namun untuk kemaslahatan sebanyak-banyak umat, sehingga patut diberikan zakat. Diharapkan dengan pemberian zakat ia dapat memenuhi kebutuhannya membeli buku-buku atau untuk kepentingan agama dan dunianya.
   

Menjauhi Syubhat
''Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas. Di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (meragukan) yang tidak diketahui oleh orang kebanyakan. Barangsiapa berhati-hati terhadap hal-hal yang syubhat itu, maka sungguh dia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan orang yang terjerumus pada syubhat sungguh telah terjerumus pada haram.

Seperti pengembala yang mengembala ternaknya di sekitar tapal batas, hampir menginjak tapal batas itu. Ingatlah sesungguhnya setiap penguasa memiliki tapal batas. Ingatlah sesungguhnya tapal batas Allah adalah keharaman-keharaman (yang ditetapkan)-Nya.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Al-Jurjani mengartikan syubhat sebagai sesuatu yang belum diyakini status halal dan haramnya

Al-Shan'ani pun berpendapat hampir sama :
 ''Yang dimaksud dengan syubhat adalah hal-hal yang belum diketahui status halal dan haramnya hingga sebagian besar orang yang tidak tahu (awam) menjadi ragu antara halal dan haram. Hanya para ulama yang mengetahui status hukumnya dengan jelas, baik berdasarkan nas ataupun berdasarkan ijtihad yang mereka lakukan dengan metode qiyas, istishhab, dan sebagainya'' (Subul Al-Salam, jil. IV hal. 316).

Merujuk pada pengertian tersebut, syubhat memang bukan sebuah status hukum seperti halal, haram, makruh, wajib, dan sunat. Syubhat sesungguhnya menggambarkan pengetahuan objektif sebagian besar orang terhadap status hukum suatu perkara. Sebab, dalam pandangan hukum, tidak ada satu pun masalah yang tidak memiliki status hukum. Sekalipun kadang-kadang diperdebatkan, ketidakjelasannya bukan karena keraguan, tapi berlandaskan keilmuan yang jelas.

Jadi, sebenarnya bagi orang yang tahu, status suatu perkara sudah jelas, sekalipun debatable di kalangan orang yang sama-sama tahu. Sementara status syubhat muncul dari ketidaktahuan, bukan dari pengetahuan. Selamanya akan meragukan dan tidak akan pernah melahirkan kemantapan dalam menentukan sikap terhadap perkara tersebut. Kondisi seperti ini pasti akan melanda sebagian besar umat, terutama kelompok awam.

Seringkali umat menghadapi sesuatu yang tidak jelas dan meragukan. Bahkan para ulama sendiri, dalam kasus-kasus tertentu akan menghadapi situasi yang membingungkan seperti itu. Sementara Islam sama sekali tidak menghendaki hinggapnya keraguan dan kebingungan dalam hati umatnya. Islam selalu mengajarkan agar segala sesuatu dilakukan atas dasar keyakinan. Keyakinan merupakan salah satu prinsip beragama yang paling penting dalam Islam.

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW menyatakan :
''Maka campakkanlah keraguan dan dirikanlah (perbuatanmu) di atas sesuatu yang meyakinkan'' (HR Muslim dari Abi Sa'id Al-Khudri).
Oleh karena itu, bila umat menghadapi satu hal yang membingungkan, ragu antara halal dan haram maka sebaiknya hal itu ditinggalkan. Hal itu termasuk dalam kategori syubhat.

Dengan menjauhi syubhat berarti kita telah membersihkan agama dan kehormatan kita dari noda-noda yang mungkin saja tanpa kita sadari menepel pada agama dan kehormatan kita. Dengan cara seperti ini, tidak akan ada tuduhan bahwa Islam membingungkan, karena sebenarnya Islam sudah sangat jelas. Hanya saja seringkali, karena pengetahuan yang terbatas banyak orang yang bingung menentukan sikap.

Dengan cara ini pula, kita akan terhindar dari fitnah telah melakukan hal yang buruk. Kehormatan kita sebagai seorang Mukmin akan tetap terjaga. Inilah yang disebut sikap wara' (hati-hati) dalam beragama.
Wallahu a'lamu bi al-shawwab.


Berprestasi Dengan Motivasi
Salah satu kunci agar kita bisa sukses hidup di dunia adalah motivasi. Makin besar motivasi kita untuk memperbaiki diri dan maju, kemungkinan sukses pun akan kian besar.
Motivasi seseorang sangat ditentukan oleh tingkat harapannya terhadap sesuatu. Karena itu, ada tiga hal yang berkaitan erat denga prestasi, yaitu :
1. prestasi itu sendiri,
2. motivasi, dan
3. harapan.
Prestasi bisa diraih karena adanya motivasi dan motivasi akan tumbuh jika ada harapan.

Banyak manusia lebih sering mengeluarkan alasan ketimbang berbuat. Lebih mengkhawatirkan, semua itu terlahir hanya untuk menutupi kemalasan dan kegagalannya.
Ketika ditanya, misalnya, "Mengapa Anda tidak kuliah?"
Jawaban yang sering muncul adalah tidak punya uang, atau karena orang tua tidak sanggup membiayai, minder, dan sebagainya. Padahal, jika seseorang mau berbuat, semua itu bisa disiasati. Bisa dengan cara berwirausaha, atau mendapatkan beasiswa.

Begitu pula ketika ditanya, "Mengapa tidak mencoba berbisnis?"
Jawaban yang sering terlontar terlihat fatalis: takut gagal, tidak punya modal, banyak saingan, dan sebagainya. Karena itu, jangan heran jika kita tidak pernah maju. Bagaimana mau maju, motivasi untuk maju saja tidak ada?

Sebaik-baik sumber motivasi adalah ridha Allah SWT. Prestasi tertinggi seseorang dalam hal ini adalah mendapatkan surga. Sebaliknya, sumber motivasi terendah adalah dunia. Bila motivasi seseorang hanya tertuju pada dunia, yakinlah bahwa hanya kekecewaan yang akan ia dapatkan.

Seseorang yang berbisnis karena mencari dunia semata, akan kecewa bila bisnisnya merugi. Tapi bagi orang yang berbisnis karena Allah, setiap kegagalan bermakna pengalaman berharga untuk tidak jatuh dalam kegagalan serupa.
Ia juga akan menyadari bahwa semua terjadi karena izin Allah. Ia sadar bahwa keinginannya belum tentu sesuai menurut Allah. Tugasnya hanya meluruskan niat dan menyempurnakan ikhtiar, perkara hasil ada di tangan Allah sepenuhnya. Inilah hakikat motivasi menuju prestasi yang hakiki. 


Arti Sebuah Niat
Dari Umar bin Khathab ra, Rasulullah SAW bersabda :
"Segala amal perbuatan bergantung pada niat dan setiap orang akan memperoleh pahala sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa yang berhijrah dengan niat mencari keuntungan duniawi atau untuk mengawini seorang perempuan, maka (pahala) hijrahnya sesuai dengan niatnya itu". (HR. Bukhari)

Penjelasan:
Rasulullah SAW mengucapkan hadis ini ketika beliau hijrah ke Yatsrib atau Madinah. Saat itu tersebar sebuah informasi bahwa ada seseorang yang ikut berhijrah karena mengejar wanita tunangannya. Nama wanita itu Ummul Qais. Sehingga pada waktu itu terkenal sebuah istilah muhajjir Ummul Qais atau yang berhijrah karena Ummul Qais. Niat biasanya diartikan sebagai getaran batin untuk menentukan jenis ibadah yang kita lakukan.

Contoh, kalau kita melakukan shalat pukul 05.30, ada beberapa kemungkinan; shalat Syukrul Wudhu, shalat Tahiyatul Masjid, shalat Fajar, Istikharah, atau shalat Shubuh. Setidaknya ada enam kemungkinan. Kita lihat semuanya sama, gerakannya sama, bacaannya sama, rakaatnya sama, tapi ada satu yang membedakannya yaitu niat. Masalah niat termasuk salah satu masalah yang mendapatkan perhatian "serius" dalam kajian Islam.

Niat dibahas panjang lebar baik itu dalam ilmu fikih, ushul fikih, maupun akhlak. Dalam ilmu fikih, niat ditempatkan sebagai rukun pertama dari rangkaian ibadah, seperti dalam shalat, zakat, puasa, maupun ibadah haji. Niat dalam ushul fikih biasanya dijadikan salah satu faktor yang menentukan status hukum suatu perbuatan. Nikah adalah salah satu contohnya. Ia bisa berstatus wajib, haram, dan sunnat, tergantung pada niat dari nikah tersebut.

Begitu pula ketika seseorang memakai gelar haji setelah pulang dari Makkah, hukumnya bisa wajib, bisa sunnat, bahkan haram. Tingkatannya sangat tergantung pada niat untuk apa ia memakai gelar haji tersebut. Niat dalam sudut pandang akhlak pengertiannya lebih menunjukkan getaran batin yang menentukan kuantitas sebuah amal. Shalat yang kita lakukan dengan jumlah rakaat yang sama, waktu yang sama, dan bacaan yang sama, penilaian bisa berbeda antara satu orang dengan yang lainnya tergantung kualitas niatnya.

Niat yang tertinggi kualitasnya disebut ikhlas; sedangkan niat yang paling rendah kualitasnya disebut riya atau sum'ah, yaitu beribadah karena mengharapkan sesuatu selain keridhaan Allah. Rasulullah SAW pernah menyampaikan kekhawatiran tentang sesuatu yang di kemudian hari bisa menjangkiti umatnya.
Beliau bersabda :
"Sesungguhnya ada sesuatu yang aku takutkan di antara sesuatu yang paling aku takutkan menimpa umatku kelak, yaitu syirik kecil."

Para sahabat bertanya : "Apakah syirik kecil itu?"
Beliau menjawab : "riya."
Dalam sebuah hadis diceritakan pula bahwa di akhirat kelak akan ada sekelompok orang yang mengeluh, merangkak, dan menangis.
Mereka berkata, "Ya Allah di dunia kami rajin melakukan shalat, tapi kami dicatat sebagai orang yang tidak mau melakukan shalat".

Para malaikat menjawab :
"Tidakkah kalian ingat pada waktu kalian melakukan shalat kalian bukan mengharap ridha Allah, tapi kalian mengharap pujian dari manusia, kalau itu yang kalian cari, maka carilah manusia yang kau harapkan pujiannya itu."
Jelaslah, bahwa kualitas sebuah amal berbanding lurus dengan kualitas niat yang melatarbelakanginya.

Bila niat kita lurus, maka lurus pula amal kita. Tetapi bila niat kita bengkok, maka amal kita pun akan bengkok. Agar niat kita senantiasa lurus dan ikhlas, alangkah baiknya apabila kita menghayati kembali janji-janji yang selalu kita ucapkan saat shalat, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah seru sekalian alam".
Wallahu a'lam bish-shawab.


Introspeksi untuk Kehidupan
"Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin adalah orang yang beruntung. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi. Dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin adalah orang celaka" (Hadits).
"DUNIA makin menua, namun tetap cantik dan kian mempesona untuk dipandang dan dinikmati..." Kalimat itu, menurut sebuah riwayat, diucapkan Malaikat Jibril dalam peristiwa Isra Mi'raj. Hal itu dikemukakannya ketika menjawab pertanyaan Rasulullah SAW, setelah beliau "diganggu" oleh seorang wanita tua namun tetap menampakkan kejelitaannya. Wanita tua yang menunggang kuda dan berteriak, "Ya Muhammad... Ya Muhammad!"

Kiranya, kisah di atas bisa menjadi "starting point" renungan kita pada tahun baru Masehi yang baru saja kita lalui. Kisah itu seharusnya mampu menyadarkan kita, betapa tahun berganti merupakan pertambahan usia bagi kita juga bagi dunia ini yang makin renta namun kian jelita ini. Sayangnya, banyak orang (termasuk kita?) malah merayakannya dengan bersenang-senang. Kita seakan tidak peduli bahwa dunia ini makin "renta" dan kian dekat pada "kematiannya" (kiamat). Pergantian tahun merupakan momen penting untuk melakukan introspeksi diri (muhasabah), menghitung-hitung kualitas iman, ilmu, dan amal yang telah kita perbuat. Umar bin Khathab menyatakan, ''Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah amal-amal kalian sebelum ditimbang.

Bersiaplah untuk menghadapi hari yang amat dahsyat. Pada hari itu segala sesuatu yang ada pada diri kalian menjadi jelas, tidak ada yang tersembunyi'.' Bagi seorang Muslim, sebenarnya setiap pergantian waktu, hari demi hari, bahkan mungkin detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam, merupakan momentum untuk introspeksi menuju kualitas iman, ilmu, dan amal yang lebih baik.

Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Rasulullah SAW menyatakan, "Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi. Dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka". Kita harus senantiasa mawas diri, mungkin selama ini kita terbuai kehidupan dunia, waktu habis untuk mengejar kesenangan duniawi dengan mengabaikan bekal untuk kehidupan akhirat.

Oleh karena itu, introspeksi diri harus senantiasa dilakukan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Kehidupan dunia ini hanyalah persinggahan sementara untuk menuju alam akhirat. Di alam persinggahan inilah saatnya mengumpulkan bekal berupa amal saleh. Pergantian tahunjuga hari demi hari mengingatkan kita bahwa "jatah hidup" kita di dunia ini makin berkurang. Imam Hasan Al-Basri mengatakan, ''Wahai anak Adam, sesungguhnya Anda bagian dari hari, apabila satu hari berlalu, maka berlalu pulalah sebagian hidupmu". DALAM menjalani kehidupan di dunia ini kita bergelut dan berpacu dengan waktu. Dan bagi seorang Muslim, waktu sangat penting artinya. Bahkan dalam QS Al-'Ashr:1-3 Allah SWT bersumpah dengan waktu. Hal itu menunjukkan betapa kita harus mempergunakan waktu hidup di dunia ini untuk beriman dan beramal shaleh. Terlebih, dalam ayat tersebut dinyatakan, semua manusia akan merugi kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Dalam proses introspeksi, kita bisa mengajukan pertanyaan: apakah waktu kita yang telah berlalu itu telah kita isi dengan amal ibadah?

Apa yang masih kurang dalam diri kita, menyangkut iman, ilmu, dan amal? Lalu apa yang akan kita lakukan untuk hari-hari ke depan? Kita bisa memulainya dengan melakukan "pengenalan diri" (ma'rifatunnafsi). Menurut Imam Al-Ghazali, pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan. Nabi SAW menyatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya sendiri, akan mengetahui Tuhannya".

Yang dimaksud "mengetahui diri", kata Al-Ghazali, bukanlah mengenali bentuk luar diri kita, bukan pula tentang sekadar tahu bahwa kalau kita lapar harus makan. Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya adalah pengetahuan tentang: siapakah Anda? Dari mana Anda datang? Ke mana Anda pergi Di manakah sebenarnya kebahagiaan dan kesedihan? Demikian menurut Al-Ghazali. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja menuntun kita untuk ma'rifatunnafsi (mengenal diri sendiri) yang pada gilirannya mengarah pada ma'rifatullah (mengenal Allah). Jika kita sudah mengenal Allah SWT, tentunya keimanan kita pada-Nya pun akan semakin kuat. Jika sudah kuat sikap tauhid kita, insya Allah, tingkat ketakwaan pun akan meningkat, hasilnya adalah kebahagiaan dunia akhirat.

Barangkali, secara sederhana pertanyaan yang dikemukakan Al-Ghazali tadi dapat kita jawab: kita adalah manusia, makhluk dan hamba Allah SWT yang harus mengabdi pada-Nya, khalifah-Nya di muka bumi, dan pengemban amanah-Nya (QS 51:56, 98:5, 2:21, 33:72, 2:30, 27:62, 35:39); kita datang dari "alam ruh" untuk menjalani kehidupan dunia yang merupakan ajang ujian dari-Nya (QS Al-Kahfi: 7); kita akan pergi menuju "alam akhirat" yang kekal, untuk mempertanggungjawabkan segala amal yang pernah dilakukan.

Jawaban sederhana atau singkat itu tentu saja membutuhkan penelaahan lebih jauh dan penggalian melalui Alquran dan Hadits, plus renungan untuk mencari kebenaran. Mengenal diri berarti mengetahui hakikat hidup dan tujuannya, termasuk mengetahui arti keberadaan kita di alam dunia ini. Orang yang "lupa diri" tentu akan mengabaikan status dan fungsinya di dunia ini.

Ia tidak akan peduli tentang hakikat hidup, siapa dirinya, dan mengabaikan perintah dan larangan Tuhannya. MENGENAL diri juga bermakna mengenal siapa sebenarnya manusia. Manusia adalah makhluk Allah SWT yang dimuliakan oleh-Nya, mempunyai kelebihan dibanding makhluk lain yaitu akal. Dengan akalnya manusia dapat memahami segala fenomena alam (ayat kauniyah), menerjemahkan dan mempraktekkan wahyu Allah SWT (ayat qauliyah), dan menciptakan kebudayaan untuk mengatasi persoalan hidup. Agar tidak berlaku sombong dan "sadar diri", salah satu cara adalah menyadari bahwa asal penciptaan kita adalah air mani. Dan, ketika mati tubuh manusia menyatu dengan tanah, tinggal tulang-belulang. Tubuh indah dan wajah tampan atau paras cantik berakhir sudah ketika mati. Sementara ruh kita kembali menghadap Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan kita, rezeki kita, amanat yang kita terima, termasuk sejauh mana implementasi perjanjian kita dengan Allah di "alam ruh" di mana kita mengakui Allah sebagai Tuhan (QS. 7:172). Maka dari itu, "Hendaklah setiap diri memperhatikan (melakukan introspeksi) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (alam akhirat)" (QS. 59:18). Wallahu a'lam.  
Kaya Jiwa

Bukanlah orang kaya itu karena banyak harta-benda, akan tetapi orang kaya adalah orang yang jiwanya kaya (Al-Hadits).
Kata "kaya" ini telah mengilhami jutaan orang di dunia untuk melakukan apa saja : berpikir, bekerja, menipu, mencuri, dan lainnya.

Karl Marx, sempat menggegerkan panggung sejarah dunia gara-gara pikiran-pikirannya tentang kaya dan kekayaan. Orang-orang kaya disebutnya kaum borjuis. Baginya kaum borjuis adalah biang segala malapetaka kesengsaraan para buruh yang disebutnya sebagai kaum proletar. Ia ingin buruh-buruh itu pun ikut menikmati kekayaan seperti para borjuis.

Lain halnya dengan para pemikir kapitalis semacam Warner Sombart, Grossman, Dukheim, ataupun Weber. Mereka beranggapan bahwa kebebasan manusia justru terletak pada kebebasan memiliki kekayaan sejauh ia sanggup dan mampu. Dalam dunia kapitalisme ataupun sosialisme, hal keadaan kaya atau tidak diukur dengan ukuran meterial-bendawi.

Orang yang paling banyak harta dialah yang paling kaya. Mereka yang sedikit saja berkesempatan menikmati kekayaan disebutlah miskin. Mudah pula diterka bahwa dalam pikiran-pikiran materialistis semacam itu banyaknya harta adalah jaminan bagi seseorang untuk menjadi sejahtera dan bahagia. Tanpa harta di genggaman tangan tak akan pernah ada kebahagiaan.

Kecintaan pada harta dan kekayaan bukan hal yang aneh dalam diri manusia. Sejak diciptakan manusia dilekati tabiat cinta pada harta, kekayaan, dan materi. Firman Allah :
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).  (QS. Ali Imran: 14).
Karena itu tidak mengherankan apabila menjadi kaya dengan banyak harta benda menjadi idaman banyak orang. Bagi yang tidak terus berfikir (jahil) selesailah kebenaran hidup sampai di situ.

Bagi yang mau terus berpikir dan merenung, sabda Rasulullah di awal tulisan ini tentu akan mencengangkan. Beliau mengatakan salah besar bila kita mengukur kebahagiaan dengan banyaknya harta benda. Orang kaya adalah orang yang 'kaya' jiwanya. Kaya jiwa adalah sebuah sikap jiwa yang senantiasa merasa cukup dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup paling minimal, sekalipun melimpah ruah di sekelilingnya. Hal ini kemudian akan memunculkan sikap menerima apa adanya (qana'ah).

Contoh paling jelas adalah Rasulullah sendiri. Kurang apa beliau? Seperlima harta rampasan perang menjadi miliknya. Puluhan kali beliau memenangkan perang dan hanya sekali mengalami kekalahan. Tentu saja harta rampasan itu cukup untuk menjadikan Rasul orang terkaya pada masanya. Belum lagi para sahabat di sekelilingnya.

Sahabat mana yang tidak akan merelakan hartanya untuk dipersembahkan pada Rasul. Sebuah kehormatan bagi mereka dapat membahagiakan Sang Maestro Dunia itu. Pendek kata, sangat banyak potensi yang dimiliki nabi untuk menjadi kaya dalam ukuran nominal. Tapi bagaimana kenyataannya? Rumah beliau masih tetap seperti saat pertama kali datang ke Madinah. Rumahnya sangat kecil; hanya sambungan masjid pula.

Nabi adalah orang yang paling suka sehari makan sehari puasa. Baju pun seringkali sobek dan ditambalinya sendiri. Lalu ke mana harta rampasan perang, hadiah dari sahabat-sahabatnya, dan dari tempat-tempat lain yang barangkali tidak kita tahu? Tak pernah ia gunakan harta itu untuk kesenangan pribadinya.

Ia telah merasa cukup dan tidak berkekurangan dengan keadaan seperti itu. Ia sedekahkan sesisanya. Diurusinya anak yatim; diberinya makan fakir miskin; siapapun yang meminta tak pernah ia tolak. Seperti itulah Rosul yang kaya. Allah sendiri yang menyebutnya orang kaya: "dan Ia dapati engkau dalam keadaan miskin, lalu Ia memberi kekayaan"(QS. Al-Dhuha: 8). Jiwanya yang kaya itu membuatnya benar-benar "kaya".


Keutamaan Akhlak

Secara etimotogi (bahasa), akhlak terambil dari akar kata bahasa Arab khuluk yang berarti tabiat, muruah, kebiasaan, fitrah, naluri, dan lain-lain.
Secara syar'i, seperti dikatakan Al Ghazali, akhlak berarti sesuatu yang menggambarkan tentang perilaku seseorang yang terdapat dalam jiwa yang baik, yang darinya keluar perbuatan secara mudah dan otomatis tanpa terpikir sebelumnya.

Jika sumber perilaku itu didasari oleh perbuatan yang baik dan mulia, yang dapat dibenarkan oleh akal dan syariat, maka ia dinamakan akhlak yang mulia. Namun, jika sebaliknya, maka akan dinamakan akhlak yang tercela. Abu Hurairah ra mengabarkan bahwa suatu saat Rasulullah pernah ditanya tentang kriteria orang yang paling banyak masuk surga.
Beliau menjawab, ''Takwa kepada Allah dan akhlak yang Baik'' (HR Tirmidzi dan Ahmad).

Tatkala Rasulullah SAW menasehati sahabatnya, beliau menggandengkan antara nasihat untuk bertakwa dengan nasihat untuk bergaul atau berakhlak yang baik kepada manusia, sebagaimana hadits dari Abi Dzar. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada dan balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya kebaikan itu akan menutupi kejelekan dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.'' (HR Tirmidzi).

Benar, tauhid adalah sisi pokok atau inti Islam, yang juga harus diutamakan. Namun, tidak berarti mengabaikan akhlak sebagai penyempurna. Tauhid dan akhlak sangat berkaitan erat, karena tauhid merupakan realisasi akhlak seorang hamba terhadap Allah. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baik manusia.

Semakin sempurna tauhid seseorang, akan semakin baik pula akhlaknya, dan sebaliknya bila seorang hamba memiliki akhlak yang buruk berarti lemah tauhidnya. Akhlak juga merupakan tolak ukur kesempurnaan iman seorang hamba sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW, ''Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.'' (HR Tirmidzi dan Ahmad).

Dimensi akhlak dalam Islam mencakup beberapa hal yaitu: -Akhlak kepada Allah SWT dengan cara mencintai-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, malu kepada-Nya untuk berbuat maksiat, selalu bertobat, bertawakal, takut akan azab-Nya dan senantiasa berharap akan rahmat-Nya.
  • Akhlak kepada Rasulullah saw dengan cara beradab dan menghormatinya, mentaati dan mencintai beliau, menjadi kaumnya sebagai perantara dalam segala aspek kehidupan, banyak menyebut nama beliau (bersalawat), menerima seluruh ajaran beliau, menghidupkan sunah-sunah beliau, dan lebih mencintai beliau daripada diri kita sendiri, anak kita, bapak kita, dan lain-lain.
  • Akhlak terhadap Alquran dengan cara membacanya dengan khusuk, tartil dan sesempurna, sambil memahaminya, menghapalnya dan mengamalkannya dalam kehidupan riil.
  • Akhlak kepada makhluk Allah SWT mulai diri sendiri, orangtua, kerabat, handai taulan, tetangga dan sesama Mukmin sesuai dengan tuntunan Islam.
  • Akhlak kepada orang kafir dengan cara membenci kekafiran mereka, tetapi tetap berbuat adil kepada mereka, berupa membalas kekejaman mereka atau memaafkannya. Berbuat baik kepada mereka secara manusiawi selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam dan mengajak mereka kepada Islam.
  • Akhlak terhadap makhluk lain termasuk menyayangi binatang yang tidak mengganggu, menjaga tanaman dan tumbuh-tumbuhan dan melestarikannya, dan lain-lain.

Kunci Surga
s

Anak kunci surga itu adalah ikrar 'Tiada Tuhan selain Allah'. (HR. Al-Bazzar dan Ahmad bin Hambal dari Mu'adz bin Jabal). Kalimat laa ilaha illallahu (tiada Tuhan selain Allah) sering pula disebut kalimat thayyibah yang menjadi prinsip dasar ajaran Islam.

Menurut Prof. Dr. Nurcholis Madjid, kalimat thayyibah ini merupakan senjata paling ampuh untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kemanusiaan dari segala bentuk kepercayaan yang batil. Kalimat "Tiada Tuhan kecuali Allah" terdiri atas penolakan (negasi) dan penetapan (afirmasi).

Penafian di sini adalah ungkapan pertama syahadat, "tiada Tuhan" atau "tiada sesuatu bentuk Tuhan apapun", dengan penetapan yang sempurna, "kecuali Allah". Allah SWT menganalogikan kalimat thayyibah ini dengan sebuah pohon yang kuat lagi tinggi menjulang. Dalam QS. Ibrahim: 24-25, Allah SWT berfirman:

Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhan-Nya.

Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Seorang Muslim yang memahami hakikat kalimat tersebut, kehidupannya akan selalu mencerminkan nilai-nilai ketauhidan bagaikan sebuah pohon yang baik. Cirinya:
Pertama, ketauhidan dan rasa mahabbah kepada Allah akan terhujam di dalam lubuk hatinya bagaikan pohon yang akarnya teguh menghujam ke bumi.

Ia akan senantiasa lentur diterpa angin, kokoh tidak tercerabut. Seseorang yang bertauhid akan mampu menghadang segala macam tipuan syaitan yang menjerumuskan. Ketauhidan yang telah menancap kokoh di hati akan menyebabkan seorang Muslim rela mengorbankan apa pun juga demi menjaga ketauhidan tersebut, meskipun nyawa harus menjadi taruhannya.

Kedua, ketauhidan yang telah tertancap kokoh di hati akan membawa seorang Muslim ke puncak prestasi. Ia akan menjadi mercusuar bagi yang lain seperti halnya sebuah pohon yang cabangnya menjulang ke langit. Pribadi-pribadi semacam ini dapat kita saksikan pada masa Rasulullah dan para sahabat.

Berbekal ketauhidan mereka dapat menggapai puncak prestasi dalam berbagai bidang kehidupan, seperti dalam politik, militer, ilmu pengetahuan, hingga lapangan kejiwaan dan spiritual. Dengan kalimat tersebut tidak ada lagi penghambaan, ketakutan, dan rintangan yang akan membelenggu karena semuanya dikembalikan kepada Allah sebagai pemilik segalanya.

Ketiga, ketauhidan yang benar akan berbuah ketaatan. Seseorang yang mengenal Allah tentu akan memahami tujuan hidupnya, sehingga ia akan menjalani hidup dengan penuh vitalitas, beribadah dengan penuh keikhlasan dan memahami makna dari semua yang ia lakukan. Karakteristik tersebut pada akhirnya akan membawa rahmat dan cinta kasih yang dapat dipetik bagai buah-buahan segar baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang di sekitarnya.

Seseorang yang bertauhid akan menjadi sosok bermanfaat bagi lingkungannya dan akhlaknya sedap dipandang mata, bagaikan sebuah pohon yang selalu ramah lingkungan, teduh dan menyedapkan pandangan. Maka pantaslah bila ia bisa menjadi kunci pembuka syurga, baik syurga dunia maupun syurga akhirat.

Oleh karena itu, seorang Muslim harus terus menyempurnakan nilai-nilai ketauhidan yang ada pada dirinya. Ia harus terus memupuk dan menyiram pohon ketauhidan tersebut. Ilmu dan mahabbah adalah pupuknya. Dan sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu tentang Allah dan mahabbah tertinggi adalah mencintai-Nya.

















0 komentar:

Posting Komentar