رِجَالُ
الدَّعْوَةِ
RIJALUD-DA’WAH
Jika kita
membicarakan salah satu tokoh diantara tokoh ummat yang pernah hidup dalam
perjalanan sejarah, kita akan menemukan persamaan antara tokoh yang satu dengan
tokoh lainnya. Persamaan itu dapat kit aambil titik temunya, mereka adalah
orang-orang yang memiliki:
One.Quwwatur-ruh, dan
Two.Quwwatul qalb.
Dengan kekuatan
ini, kuat pula segala hal lain yang mereka miliki.
Benar apa yang
diungkapkan oleh Bisyr Al Khothib yang dikutip oleh Syekh Ahmad Rasyid dalam
kitabnya, katanya: “Cukuplah bagimu, engkau melihat orang-orang yang telah mati
yang ketika sejarah hidupnya dipelajari hati menjadi hidup, sebagaimana ada
pula manusia-manusia yang hidup diantara kita yang dengan melihatnya hati kita
menjadi mati”.
Rasulullah saw
pernah bersabda dalam sebuah hadits shahih yang banyak dikutip dalam buku-buku
sirah, ketika para sahabat menceritakan kepribadian Umar ra, Rasulullah saw bersabda:
إِنَّهُ قَدْ
كَانَ فِيمَا مَضَى قَبْلَكُمْ مِنَ الْأُمَمِ مُحَدَّثُونَ وَإِنَّهُ إِنْ كَانَ
فِي أُمَّتِي هَذِهِ مِنْهُمْ فَإِنَّهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ (رواه أحمد والبخاري).
“Sesungguhnya pada setiap ummat ada orang
yang mendapatkan ilham (muhaddits). Sesungguhnya jika di dalam ummatku ada
muhaddits, maka dia adalah Umar”.
Jika kita
membaca sejarah hidup Umar ra, kita
akan menemukan bahwa beliau adalah orang yang memiliki banyak keistimewaan.
Salah satunya adalah ilham yang dimilikinya. Suatu ketika, ketika beliau
berdiri di mimbarnya, Allah memperlihatkan kepadanya perjalanan pertempuran
antara Sariyyah dan Romawi, dari jarak ratusan, bahkan ribuan mil, Umar
memerintahkan: “Wahai Sariyyah, berlindunglah ke balik gunung, berlindunglah ke
gunung”. Para sahabat yang mendengar kebingungan, tapi diantara mereka tidak
ada yang berprasangka bukan-bukan terhadap Umar. Ketika Sariyyah pulang dari
pertempuran dengan membawa kemenangan, mereka bertanya: “Apakah kalian
mendengat seruan Umar?”. Kata Sariyyah: “Kami mendengar dan kami mentaatinya”.
Dalam kesempatan
lain, dalam kesendiriannya, Umar berkata: “Barang siapa dari keturunanku nanti
memiliki luka di wajahnya, dia akan meramaikan dunia dengan keadilannya”.
Ketika Umar bin
Abdul Aziz lahir, di wajahnya tidak ada luka. Tapi ketika ia masih kecil, dia
pernah terluka di wajahnya ketika sedang bermain-main.
Ini sekaligus
sebagai bukti kebenaran Ilham Umar ra.
Ketika Abdul
Aziz bin Marwan (Bapaknya Umar bin Abdul Aziz) melihat hal itu, ia mengatakan:
“Kalau engkau adalah orang yang diungkapkan oleh kakekmu dulu, engkaulah
pemakmur dunia ini dengan keadilan”.
Kebenaran ini
terbukti kemudian.
Tahun 99 H, Umar
bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah. Meskipun ia hanya menjabat sebagai
khalifah selama dua tahun lima bulan, namun hasil kekhalifahannya terlihat
jelas.
Dalam kitab Hayatush-Shahabah disebutkan, ketika
Umar menjadi khalifah, adalah seorang pemuda yang menjadi rakyatnya yang setiap
shalat digoda oleh wanita cantik untuk berbuat serong. Lama kelamaan ia tergoda
dan melakukan perbuatan serong. Ia menyesal dan kemudian meninggal. Ketika Umar
tidak melihat pemuda ini dalam jama’ah shalat, bertanyalah Umar tentang pemuda
ini. Diceritakanlah kisah tentang pemuda itu. Karena kematiannya berada di
tempat orang yang hanya pemuda itu dan si wanita, segeralah pemuda itu
dikuburkan tanpa memberitahu orang lain. Ketika Umar ra mengetahui, ia bertanya: “Mengapa kalian lakukan yang
demikian?”. Kemudian Umar ra ingin
bicara langsung dengan pemuda itu. Umar ra
kemudian mendatangi kuburan pemuda itu.
Dalam sejarah
kita menemukan pula kejadian serupa dalam diri imam Syafi’i. Beliau adalah
orang yang mendapatkan ilham. Muridnya yang empat: Ar-Rabi’ bin Sulaiman, Al
Buwaithi, Al Muzani dan Ibnu Abdil Hakam, sebelum meninggal mengungkapkan
kepada murid-muridnya tersebut, kamu akan menjadi ini, kamu akan menjadi ini
dan sebagainya. Semua ucapan imam Syafi’i ini kemudian terbukti kebenarannya.
Pada dasa warsa
ini, salah satu tokoh yang insya Allah mendapatkan
ilham adalah asy-syahid imam Hasan Al Banna rahimahullah.
Kalau kita
membaca buku Ikhwanul Muslimin; Ahdats Shana’at-Tarikh,
kiat akan melihat bahwa perjalanan awal asy-syahid Sayiid Qutub, kelasnya
selevel dengan “Nurcholis group”. Saat itu di Mesir terbit majalah sastra yang
menjadi ajang pertemuan 20 sastrawan. Salah satu kubunya adalah para tokoh
aliran sastra bebas yang dikomandani oleh Abbas Mahmud Al Aqqad, dan kubu
lainnya adalah sastrawan muslim yang dikomandani oleh Musthofa Shadiq
Ar-Rafi’i. Sayyid Qutub adalah murid pilihan Al Aqqad. Ketika Musthofa
meninggal, Al Aqqad naik, karena tidak ada saingan, murid-muridnya diberi
rangsangan untuk menulis.
Dalam sebuah
surat kabar mingguan, Sayyid Qutub menulis makalah di mana dia menyerukan
kepada para wanita muslimah untuk membuka auratnya, karena menutup aurat
dianggap olehnya sebagai penghambat kemajuan wanita.
Tulisan ini
dibaca oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud dan beliau membuat tanggapan. Tapi
sebelum tanggapan ini dimuat di media massa, Ustadz Abdul Halim
mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Imam Al Banna.
Kata Imam Al
Banna: “Saya menyetujui 100 % tulisan kamu, tapi saya memiliki perasaan lain
tentang orang ini, berilah beberapa pertimbangan:
Pertama: Dia masih muda,
dan apa yang ditulisnya bukanlah dari otaknya sendiri, tapi dari lingkungannya.
Kedua: Anak muda biasanya
menyenangi sensasi dan mencari musuh, apa yang dilakukan Sayyid Qutub oleh Imam
Al Banna dinilai sebagai upaya mencari eksistensi diri.
Ketiga: karena dia masih
muda, kita masih memiliki harapan, siapa tahu dia akan menjadi pemikul beban
da’wah.
Pertimbangan
yang lain, kata Imam Al Banna, dia (Sayyid) menulis di surat kabar yang tidak
terlalu terkenal di Mesir ini. Kalaupun dikenal, makalah atau kolom, umumnya
tidak terlalu menarik perhatian orang banyak untuk membacanya, apalagi kalau
ditulis oleh seorang pemula yang belum memiliki nama. Kalau kita menanggapinya,
orang-orang yang semula tidak tahu menjadi ingin mengetahuinya, dan orang-orang
yang mungkin pernah membaca secara selintas akan mengulang kembali membacanya
untuk mengenali muatan tulisan tersebut. Tujuan anak muda ini menulis adalah
untuk mendapatkan serangan atau tantangan dari khayalak yang dengan serangan
itu akan menaikkan dan mengangkat namanya. Imam Al Banna berkata lagi: “Kalau
kita bantah tulisan itu, kita berarti menutup kesempatan diri pemuda itu untuk
bertobat karena orang cenderung untuk membela diri jika kesalahannya
diluruskan, apalagi bila pelurusan itu dilakukan di depan umum, ia akan membela
dirinya mati-matian, meskipun dalam hati kecilnya ia menyadari kesalahan atau
kekeliruannya. Dengan demikian, kalau tanggapan itu ita lakukan, berarti kita
telah menutup kesempatan bertaubat bagi dirinya”.
Akhirnya Imam Al
Banna mengatakan: “Wahai Mahmud, inilah pandanganku tentang orang ini, akan
tetapi, kalau engkau tetap ingin mengirimkannya, silahkan saja”.
Ustadz Mahmud setuju
untuk meninjau kembali rencana pengiriman tulisan itu, sehingga akhirnya
tulisan itu tidak jadi dikirim.
Dan pada
akhirnya, terbuktilah kebenaran perasaan Imam Al Banna, sebab pada akhir
perjalanan hidupnya, Sayyid Qutub menjadi penopang dan pemikul beban da’wah dan
iapun bergabung dengan jama’ah ini.
Hal itu
merupakan bagian dari firasat seorang mukmin yang dimiliki oleh Imam Al Banna.
Untuk lebih
jelasnya, mari kita ikuti perjalanan beliau sejak kecil hingga beliau
meninggalkan dunia yang fana ini.
Imam Al Banna
dilahirkan sama dengan tahun dilahirkannya Sukarno, yaitu tahun 1906 M, di
suatu wilayah yang bernama Al Mahmudiyah. Beliau dilahirkan dari keluarga yang
gemar kepada ilmu. Ayahnya seorang ulama’ yang bernama Asy-Syekh Ahmad bin
Abdur-Rahman As-Sa’ati, seorang tukang jam. Meskipun seorang tukang servis jam,
namun beliau juga seorang ulama’. Diantara karya besarnya adalah menertibkan
kitab hadits musnad Imam Ahmad sesuai dengan urutan tema fiqih, kitab itu
diberi nama Al Fathu Ar-Rabbani fi Tartibi Musnadil Imami Ahmad Asy-Syaibani.
Ketika kecil
beliau mendapatkan pendidikan di Madrasah Ar-Rosyad Ad-Diniyyah yang diasuh
oleh Asy-Syekh Az-Zahroni. Disekolah SD itulah beliau menghafal Al Qur’an
sebanyak setengah Al Qur’an atau kurang lebih 15 juz. Rupanya sekolah ini tidak
lama umurnya, karena Asy-Syekh Az-Zahrani ditarik oleh departemen pendidikan di
sana, dan bubarlah sekolahan itu.
Beliau kemudian
melanjutkan sekolahnya di Al I’dadiyyah. Disana beliau membagi waktunya menjadi
empat bagian: belajar di pagi hari, kemudian sepulang sekolah beliau belajar
memperbaiki jam hingga sore hari, dan di malam harinya beliau mempersiapkan
diri untuk sekolah besok paginya, dan pagi harinya setelah shalat Shubuh,
beliau menghafalkan Al Qur’an. Dengan kebiasaan inilah beliau hampir menamatkan
hafalan Al Qur’annya.
Setelah tamat di
Al I’dadiyyah, Hasan Al Banna kecil melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Al
Mu’allimin Al Awwaliyyah di Damanhur. Disana beliau tamat menghafalkan Al
Qur’an. Madrasah Al Mu’allimin ini adalah sekolah yang di sini setingkat dengan
SPG atau SMU. Setelah itu beliau mendapatkan dua peluang belajar, di Al Azhar
atau di Darul ‘Ulum. Kalau melanjutkan di Darul ‘Ulum ia akan menjadi guru. Dan
kalau di Al Azhar beliau bisa melanjutkan dan biasanya menjadi ulama’ besar.
Namun beliau lebih memilih Ma’had Darul ‘Ulum program diploma tiga tahun. Lalu
pindahlah beliau ke Kairo.
Pada masa
mudanya –bahkan sejak masih duduk di bangku SD- Hasan Al Banna tertarik kepada
salah satu tarekat yang memang tumbuh menjamur pada masa itu. Tarekat yang
diminatinya bernama tarekat Al Hashafiyyah, yang didirikan oleh seorang ulama’
besar bernama Syekh Al Hasanain Al Hashafi, seorang tamatan Al Azhar.
Dalam buku yang
ditulis oleh Imam Al Banna; Mudzakkiratud-Da'wahwah
Wad-Da'wahiyah, disebutkan, tarekat yang didirikan oleh Syekh Al Hashafi
berbeda dengan tarekat-tarekat lain yang ada pada masa itu. Syekh Al Hashafi
selalu gemar menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Imam Al Banna bercerita
tentang Syekh Al Hashafi, meskipun beliau belum pernah bertemu langsung
dengannya. Kata beliau, pada saat berkunjung kepada Syekh Khudhari Bik, seorang
penguasa Mesir, beliau menyampaikan salam yang kemudian dijawab oleh Hudhari
Bik dengan isyarat. Dengan berang Al Hashofi mengatakan:
رَدُّ السَّلاَمِ
وَاجِبٌ، وَلاَ يَكْفِي بِاْلإِشَارَةِ
Menjawab salam hukumnya wajib dan tidak cukup dengan
isyarat.
Akhirnya
Khudhari Bik malu sendiri dan menjawab:
وَعَلَيْكُمُ
السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Kemudian ketika
beliau diundang oleh seorang perdana menteri Mesir bersama ulama’-ulama’ yang
lain, beliau melihat ulama’-ulama’ tersebut menundukkan kepada kepada perdana
menteri karena mengikuti seorang ulama’ yang menundukkan kepalanya kepada sang
perdana menteri itu. Ketika melihat hal itu syekh Al Hashafi memukul dan
berkata kepada para ulama’ itu:
يَا هَذَا!
اَلرُّكُوْعُ للهِ فَقَطْ، وَلاَ يَحِلُّ الرُّكُوْعُ لِلنَّاسِ!
Wahai orang
ini! Ruku’ itu hanya untuk Allah semata, dan tidak halal ruku’ kepada manusia!
Inilah diantara
kisah kepribadian Syekh Hasanain Al Hashafi yang membuat Hasan Al Banna tertarik
kepadanya dan ingin berhubungan lebih jauh dengan tarekat yang didirikannya.
Beliau mengikuti
tarekat Al Hashafiyah semasa dipimpin oleh putra Syekh Hasanain Al Hashafi,
namanya syekh Abdul Wahhab bin Hasanain Al Hashafi.
Diceritakan oleh
Imam Al Banna bahwa syekh Abdul Wahhab tidak sekeras dan setegas bapaknya.
Namun beliau orang bersih, lurus dan dikenal sebagai ahli suluk, yaitu orang
yang ibadahnya tidak diragukan lagi.
Beliau juga bisa
dikatakan sebagai orang yang mulham.
Suatu ketika
beliau bersama seorang sahabatnya yang bernama Ahmad Affandi As-Sakari bertemu
dengan syekh Abdul Wahhab, beliau mengatakan kepada keduanya:
أَنَّنِيْ
أَتَوَسَّمُ أَنَّ اللهَ سَيَجْمَعُ عَلَيْكُمُ الْقُلُوْبَ وَيَنْضَمُّ
عَلَيْكُمْ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ، فَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ سَيَسْأَلُكُمْ
عَنْ أَوْقَاتِ هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ سَيَجْتَمِعُوْنَ عَلَيْكُمْ،
أَفَدْتُمُوْهُمْ فِيْهَا، وَيَكُوْنُ لَهُمْ الثَّوَابُ، وَلَكُمْ مِثْلُهُمْ،
أَمْ اِنْصَرَفَتْ هَبَاءً فَيُؤَاخَذُوْنَ وَتُؤَاخَذُوْنَ.
Aku melihat dari wajah kalian bahwa Allah swt akan
menghimpun hati manusia kepada kalian dan Allah akan menyatukan mereka kepada
kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah swt akan bertanya kepada kalian atas waktu
mereka yang berkumpul kepada kalian itu, apakah kalian memberikan kepada mereka
manfaat dan tentunya mereka akan mendapat pahala dan demikian pula kalian, atau
waktu mereka itu hilang percuma, maka mereka akan dimintai pertanggung jawaban
dan demikian pula kalian.
Inilah yang
diungkapkan oleh Syekh Abdul Wahhab kepada Hasan Al Banna dan Ahmad Affandi
As-Sakari.
Dari
pengalamannya di tarekat inilah beliau mulai berorganisasi dengan membentuk
satu organisasi yang diberi nama Jam’iyyah
Al Khairiyyah Al Hashafiyyah. Dalam organisasi ini yang menjadi ketuanya
adalah Ahmad Affandi As-Sakari –yang nantinya dalam jama’ah Ikhwanul Muslimin
dia menjadi wakil- dan yang menjadi sekretarisnya adalah Hasan Al Banna.
Aktifitas
organisasi ini ada dua:
1.
Menyebarkan da'wah kepada
akhlaq yang mulia dan memerangi berbagai kemunkaran dan hal-hal yang diharamkan
dan tersebar luas di masyarakat, seperti: judi, minuman keras, dan
bid’ah-bid’ah yang ada pada perayaan-perayaan.
2.
Menghadapi propaganda missi
Zending Kristen yang ada di Mesir pada waktu itu.
Dalam buku Mudzakkirotud-Da'wah Wad-Da'iyah Imam Al
Banna menceritakan, beberapa kantor IM berdampingan dengan kantor-kantor missi
kristenisasi.
Dan kita lihat
pula dalam kitab fi qafilatil Ikhwan Al
Muslimin yang ditulis oleh Ustadz Abbas As-Sisi, foto-foto yang ada dalam
buku tersebut menggambarkan betapa jama’ah ini memiliki toleransi dengan
orang-orang palangis itu. Hasan Al Hudhaibi, mursyid ‘aam kedua misalnya, dalam
foto-foto itu bergambar berdampingan dengan pembesar Kristen Qibti. Hal itu
menandakan bahwa jama’ah ini sejak pertama tidak melupakan peran sosialnya
kepada orang Nasrani yang merupakan bagian dari ummat manusia.
Setelah beliau
selesai dari Mu’allimin Al Awwaliyyah dan setelah beliau memilih Darul ‘Ulum
sebagai sekolah kelanjutannya, beliau terpaksa harus berpisah dengan keluarga
dan sahabat yang dicintainya. Disana, di Kairo, beliau hidup sendirian dan
tidak mengandalkan kiriman wesel dari orang tuanya, beliau benar-benar mandiri.
Karena kemandiriannya ini, beliau menjadi sangat sibuk, sampai-sampai ketika
menjelang ujian masuk Darul ‘Ulum beliau tidak sempat belajar.
Dalam kitab Ahdats Shana’at-Tarikh Imam Al Banna
bercerita: Di malam ujian itu beliau melakukan shalat tahajjud seperti
biasanya, dan memohon serta mengadu kepada Allah swt. Dalam do’anya beliau
berkata: “Ya Allah! Sesungguhnya Engkau tahu betapa rindunya diriku kepada ilmu
dan betapa cintaku kepada-Mu, tapi Engkau juga tahu betapa sibuknya diriku
dalam mencari ma’isyah untuk mempertahankan hidup di kota ini, berilah jalan
keluar bagiku”.
Beliau akhirnya
tertidur malam itu dan bermimpi kedatangan seseorang yang membawa buku dan
membuka-buka buku itu dan dia turut membuka dan membacanya. Ketika ujian tiba,
ternyata apa yang dia baca dalam mimpi itulah yang diujikan esok harinya.
Beliau lulus dan
mendapatkan nilai istimewa. Ini juga salah satu tanda bahwa beliau termasuk
seorang yang Muhaddats, Mulham karena
kebersihan dan ketaqwaannya, insya Allah.
Beliau
selanjutnya belajar di Darul ‘Ulum dengan lancar. Selain mencintai Al Qur’an
dan As-Sunnah, beliau juga menyenangi syi’ir-syi’ir Arab. Setiap mendapatkan
syi’ir beliau mencatatnya hingga buku-bukunya tentang syi’ir bertumpuk.
Ketika ujian
kelulusan dari Darul ‘Ulum, saat tes lisan, beliau bawa buku-buku itu. Salah
satu dari dua orang penguji bertanya tentang apa yang dihafalnya dari
syi’ir-syi’ir itu. Dia menjawab: “Semuanya aku hafal”. Yang satunya lagi
bertanya: “Bait mana yang paling engkau senangi dari syi’ir-syi’ir itu? Al
Banna mengatakan: “Bait Syi’ir yang diucapkan oleh Thorfah bin Al ‘Abd, salah
seorang penyair di zaman jahiliyyah.
إِذَا الْقَوْمُ
قَالُوْا مَنْ فَتَى؟ خِلْتُ أَنَّنِيْ
عُنِيْتُ فَلَمْ أَكْسَلْ وَلَمْ أَتَبَلَّدِ
Bila orang bertanya : “Siapa pemuda? Saya membayangkan
akulah yang dimaksud, karenanya, saya tidak bermalas-malas dan tidak membodohi
diri.
Mendengar
jawaban itu, sang penguji mengatakan: “Wahai anakku, dengan demikian aku
nyatakan engkau lulus dari Darul ‘Ulum, dan yang memiliki jawaban seperti ini
hanya engkau dan ustadz Muhammad Abduh. Aku melihat bahwa engkau akan memiliki
masa depan yang gemilang”.
Ada syi’ir lain
yang selalu beliau kumandangkan, yaitu:
قَدْ رَشَّحُوْكَ
لأَمْرٍ لَوْ فَطِنْتَ لَهُ فَارْبَأْ
بِنَفْسِكَ أَنْ تَكُوْنَ مَعَ الْهَمَلِ
Orang-orang
telah mencalonkan kamu untuk suatu urusan, kalau saja kamu tahu.
Maka jagalah dirimu jangan sampai engkau termasuk
orang-orang yang lalai.
Beliau lulus
dari Darul ‘Ulum tahun 1926 M dan langsung memilih mengajar di sebuah SD di
Isma’iliyyah. Ketika beliau hidup di tengah masyarakat, mulailah beliau
berkomunikasi dan berbaur dengan masyarakat danmendekati tokoh-tokoh agama.
Pada suatu malam
di bulan Ramadhan, beliau berkumpul bersama tokoh-tokoh ‘ulama’ di rumah salah
seorang ‘ulama’ senior yang bernama syekh Yusuf Ad-Dajawiy. Di masa itu,
orang-orang sosialid komunis, kapitalis dan palanis telah merajalela dalam
perngrusakan ummat, sehingga kemungkarantersebar ke mana-mana. Dalam kesempatan
tersebut Hasan Al Banna mengutarakan keresahan hatinya dan meminta para ulama’
itu untuk melakukan sesuatu demi amar ma’ruf nahi munkar. Jawaban syekh Yusuf
pada waktu itu: “Sesungguhnya Allah swt tidak membebani seseorang yang melebih
kemampuannya”.
Mendengar
jawaban seperti itu Hasan Al Banna tidak puas, ia kemudian berkata: “Wahai
Syekh! Andaikan ucapan ini diucapkan oleh selain anda, mungkin kami bisa
menerimanya, tapi bila anda yang mengucapkannya, maka sulit bagi kami untuk
menerimanya. Ucapan ini terkesan lebih merupakan pembelaan diri, sementara
tidak ada sesuatu-pun yag anda lakukan untuk membendung kemungkaran ini”.
Rupanya ucapan
Hasan Al Banna ini membuat marah hadirin yang lain. Tapi Al Hamdulillah beliau
didukung oleh salah seorang hadirin yang bernama Syekh Bik Kamil. Hasan Al
Banna sebenarnya baru pertama kali bertemu dengan syekh Ahmad Bik Kamil ini,
namun karena pembelaannya yang tepat pada waktunya itu –di saat Al Banna dalam
posisi tersudut- membuat Al Banna tertarik kepadanya dan berharap dapat
berjumpa kembali dengannya pada masa yang akan datang.
Karena
pembicaraan itu terus berkepanjangan, sementara mereka yang hadir juga diundang
di majlis yang lain, maka syekh Yusuf mengajak tamu-tamunya untuk pergi. Hasan
Al Banna yang sebenarnya tidak diundang untuk acara tersebut, ikut pula bersama
mereka. Mereka semua berkunjung ke rumah salah seorang ulama’ yang bernama
syekh Muhammad Sa’ad.
Di rumah syekh
Muhammad Sa’ad, Hasan Al Banna sengaja memilih tempat duduk persis di sebelah
syekh Yusuf yang merupakan ulama’ yang dituakan, agar perhatian turut pula
ditujukan kepadanya. Benar saja, tuan rumah tidak lama kemudian bertanya kepada
syekh Yusuf tentang pemuda yang ada di sebelahnya, yang tidak lain adalah Hasan
Al Banna, yang saat itu usianya baru 21 tahun.
Di rumah syekh
Sa’ad mereka disuguhi aneka makanan lezat. Melihat semuanya itu, Hasan Al Banna
merasa panas dan tidak senang hatinya. Beliau kemudian berkata: “Apakah kalian
kira Allah swt tidak akan menghisab kalian dengan apa yang kalian perbuatan
seperti ini? Jika kalian tahu bahwa Islam memiliki ulama’-ulama’ selain kalian,
tolong tunjukkan aku kepada mereka, mungkin aku akan mendapatkan sesuatu dari
mereka yang tidak aku dapatkan pada kalian!”
Mendengar ucapan
Hasan Al Banna ini, syekh Sa’ad menangis, lalu ia berkata: “idzan, madza af’al (kalau begitu, apa
yang harus saya lakukan?) jawab Al Banna: Masalah ummat ini adalah masalah yang
berat. Sebagaimana mereka menyerang ummat ini dengan tulisan-tulisan, kita
hadapi pula tindakan mereka dengan tulisan, kalian adalah ulama’-ulama’ besar
dan memiliki hubungan yang luas. Kumpulkan orang-orang kaya untuk menyokong
dana dan kalian para ulama’ menyiapkan tulisan-tulisan untuk menghadapi
serangan mereka”.
Mendengar
jawaban Hasan Al Banna, syekh Sa’ad segera memerintahkan menyingkirkan makanan
dan minuman, dan kemudian mengambil pena dan kertas. Malam itu juga mereka
menginventarisir siapa ulama’ yang harus mereka hubungi untuk membuat tulisan
dan siapa orang-orang kaya yang akan mereka mintai bantuan dananya.
Kelompok ini
pada saat itu agak berseberangan jalan dengan kelompok syekh Rasyid Ridha dan
kawan-kawannya. Pada malam itu syekh Sa’ad memerintahkan pula untuk melibatkan
syekh Rasyid Ridha dkk. Diantara yang hadir mengatakan: “Bukankah mereka
berbeda (tidak sefikrah) dengan kita? Jawab syekh Sa’ad: “Masalah sekarang ini
lebih besar daripada masalah yang kita perselisihkan selama ini, lupakan semua
perbedaan itu dan kita cari apa yang kita sepakati”.
Dari pertemuan
inilah kemudian berdiri satu jam’iyyah, yaitu: Jam’iyyah Syubbanul Muslimin.
Tidak lama
setelah itu terbitlah majallah Syubbanul
Muslimin yang bernama Al Fath Al
Islami.
Hasan Al Banna
sebelumnya, semasa di Kairo, selain belajar, beliau juga aktif berda’wah.
Ketika di Al Isma’iliyyah, beliau kembali melakukannya. Beliau mendatangi
kedai-kedai kopi. Da’wah beliau begitu indahnya. Meskipun hanya beberapa menit saja, mampu
mengundang sempati orang-orang yang kurang terpelajar. Mengenai hal ini semua
antum sudah mengetahui.
Suatu ketika datanglah beberapa orang kepada Hasan Al Banna. Mereka berkata: “Wahai Ustadz! Kami sudah tidak sabar. Kami hanyalah
orang yang tidak mengerti apa-apa, hendak engkau bawa kemana-pun kami, kami
akan ikuti. Sekarang, apa yang harus kami lakukan?
Dari
pembicaraan-pembicaraan seperti ini, kemudian pada bulan Maret 1928 M
terjadilah pembai’atan pertama dalam sejarah jama’ah ini. Ada enam orang yang
berbai’at, yaitu:
1.
Hafizh Abdul Halim.
2.
Ahmad Al Hushari.
3.
Fuad Ibrahim.
4.
Abdur-Rahman Hasbullah.
5.
Isma’il Izz, dan
6.
Zakkiy Al Maghribi.
Setelah keenam
orang ini berbai’at, salah seorang diantaranya bertanya: “Sekarang kita sudah
berkumpul, hendak kita namakan apa kelompok kita ini? Apakah kita perlu
membentuk organisasi atau klub atau salah satu tarekat atau yang lainnya dan
kita mengambil bentuk yang formal?
Hasan Al Banna
menjawab: “Sesungguhnya kita tidak termasuk yang ini atau yang itu dan kita
tidak terlalu peduli masalah formal seperti ini. Hendaknya kita menjadikan awal
dan dasar pertemuan ini karena kesamaan fikrah, perasaan dan kesamaan untuk
beramal. Kita bersaudara dalam berkhidmah kepada ummat Islam. Berarti kita
adalah Ikhwanul Muslimin”. Sejak itulah istilah Ikhwanul Muslimin digunakan.
Ada beberapa
sisi lain dari kehidupan Hasan Al Banna yang dapat kita pelajari. Diantaranya
adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud ketika
beliau berjumpa dengan seorang ulama’ Al Azhar yang dikenal dengan sebutan Hakimul Islam, yaitu: Syekh Thanthawi
Jauhari. Beliau adalah seorang ulama’ yang berusaha menggabungkan ilmu qauli
dengan ilmu kauni, salah seorang ulama’ tafsir, kitab tafsirnya bernama: Al Jawahir. Dalam usianya yang sudah
tua, beliau rela dipimpin oleh seorang yang masih muda dan hanya sebatas guru
SD. Padahal beliau adalah syekh yang dituakan dan ulama’ terkenal.
Kata Ustadz
Abdul Halim, ketika beliau sedang menulis Arjuzah
di kantor Ikhwanul Muslimin, saat itu beliau sedang sendirian, datanglah syekh
Thanthawi menjumpainya. Sebelumnya Ustadz Abdul Halim sempat berharap dapat
bertemu langsung dengan syekh Thanthawi dan berbicara secara khusus, dan Al
Hamdulillah Allah swt mengabulkannya.
Syekh Thanthawi
bertanya kepada Ustadz Abdul Halim: “Apa yang sedang engkau tulis? Dijawab oleh
ustadz Abdul Halim: “Saya sedang menulis syi’ir yang dipesankan oleh Imam Hasan
Al Banna”. Syi’ir itu kemudian dibaca oleh syekh Thanthawi dan beliau kemudian
meminta ustadz Abdul Halim membacakanya untuknya. Ustadz Abdul Halim yang hanya
lulusan teknik dan bukan lulusan syari’ah serta tidak memahami cara membaca
syi’ir, kemudian membaca syi’ir itu. Kata syekh Thanthawi: “Bukan begitu cara
membaca syi’ir”. Ustadz Abdul Halim bertanya: “Apakah ada bagian yang keliru
saya baca? Jawab syekh Thanthawi: “Tidak, tidak ada satupun bagian yang keliru,
akan tetapi bukan begitu cara membaca syi’ir”. Kemudian syekh Thanthawi
menambahkan lagi: “Dulu, di masa jahiliyyah, ada sebuah pasar bernama Ukazh, di
sana orang-orang jahiliyyah mengambil syi’irnya, seandainya syi’ir itu dibaca
dengan cara hafal membacanya, tidak ada daya tariknya, akan tetapi, syi’ir itu
harus dibaca sesuai dengan ruhnya”. Maka syekh Thanthawi kemudian mencontohkan
cara membacanya dengan demikian indahnya.
Kemudian syekh
Thnathawi melanjutkan: “Wahai anakku, manusia dalam hidup ini membutuhkan
riyadhah (latihan), sebagaimana fisik itu harus dilatih, ruh itupun harus
dilatih. Orang-orang yang biasa berlatih akan memiliki satu tingkat dari
orang-orang yang tidak pernah berlatih”. (Di dalam tarekat ada satu tingkatan
yang paling tinggi, yaitu Al Kasyf,
yaitu kemampuan mengetahui apa-apa yang tidak diketahui oleh orang lain, bi-idznillah, suatu tingkatan bagi
orang-orang yang memiliki tingkat latihan ruhiyyah paling tinggi). Syekh
Thanthawi kemudian bertanya: “Adakah orang lain yang kedudukannya lebih tinggi
lagi dari Ahlul Al Kasyf wahai
anakku! Kata ustadz Abdul Halim: “Saya kira tidak ada wahai syekh!”.
Dijawab oleh
Thanthawi: “Tidak wahai anakku”. Abdul Halim bertanya lagi: “Kedudukan mana
lagi yang lebih tinggi dari itu?”. Jawab syekh Thanthawi: “Kedudukan yang lebih
tinggi dari itu adalah kedudukan para rijal yang dibentuk oleh Allah swt dan
dipilih diantara makhluq-Nya, mereka dipilih oleh Allah swt untuk memusnahkan
kerusakan, menghilangkan kezhaliman, menghidupkan api keimanan di dalam hati
setiap orang, serta menyebarkan ukhuwwah diantara orang-orang yang beriman,
hingga da’wah ini menjadi kuat dan mampu mengangkat nama Allah di atas bumi dan
mampu menghadapi orang-orang zhalim yang membuat kerusakan”.
Selanjutnya
syekh Thanthawi mengatakan: “Ketahuilah anakku, misi ini, yang Allah pilih
mereka untuk mengemban-Nya, menuntut mereka menjadi ahlul hajb, menjadi orang yang tidak nampak kekuatan spiritualnya
(tidak bisa jalan di air, tahan dibakar api, dsb) –akan tetapi kedudukan mereka
lebih tinggi dari Ahlul Kasyf,
mengapa? Sebab, ilmu ahlul kasyf
tidak dapat dipelajari, sedangkan ilmu ahlil
hajb dapat dipelajari dan dapat berpindah dari satu generasi ke generasi
berikutnya hingga akhir zaman”. Tambah syekh Thanthawi, “termasuk diantara ahlil hajb adalah para rasul, nabi Musa
as (ahlul hajb) kedudukannya lebih
tinggi dari nabi Khidhir as (ahlul
kasyf), sebab nabi Musa as termasuk ulul ‘azmi minar-rasul, hanya lima dari
sekian banyak nabi dan rasul yang mendapatkan gelar ini, meskipun di dalam Al
Qur’an secara sepintas seolah nabi Khidhir lebih tinggi daripadanya. Demikian
pula dengan nabi Sulaiman as, ketika
burung pelatuk kecil menemukan kerajaan Bilqis, berkata nabi Sulaiman: “Siapa
yang dapat memindahkan singgasana ratu Bilqis kemari sebelum mereka datang ke
sini? Berkata salah satu jin Ifrith: “Aku mampu memindahkan singgasana itu
sebelum engkau bangkit dari tempat dudukmu”. Berkatalah seseorang yang diberi
ilmu kitab, Asyif namanya: “Aku mampu memindahkan singgasana itu sebelum matamu
berkedip”. Meskipun ilmu ahli kitab (ahlul kasyf) itu lebih tinggi dibanding
nabi Sulaiman as, akan tetapi
kedudukan nabi Sulaiman tetap lebih mulia, sebab dia adalah seorang rasul
Allah, sedangkan Asyif tidak”.
Kata syekh
Thanthawi: “Diantara ahlul hajb adalah sahabat-sahabat yang besar, seperti Abu
Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al Khoththob, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib
dll. Diantara mereka yang lain adalah kibarul
mushlihin (para reformer besar) yang diantaranya adalah Hasan Al Banna”.
Bertanya Ustadza
Abdul Halim: “Begitukah engkau melihat Hasan Al Banna?”.
Dijawab: “Ya”.
Ditanya lagi:
“Bagaimana engkau dapat mengenalnya?”
Jawab Thanthawi:
“Ketika aku mendangar namanya disebut-sebut orang, aku datangi dia dan aku
duduk bersamanya, aku tanya dia: “Apa yang engkau da’wahkan?”. Sebagaimana
banyak orang yang yang pernah aku jumpai dia menjawab: “Aku menda’wahi orang
kepada Al Qur’an”. Maka aku katakan kepadanya: “Masing-masing kelompok mengaku
bernisbat kepada Al Qur’an, tidak ada satu kelompokpun di dalam da’wah
Islamiyyah ini –termasuk yang sesat sekalipun- kecuali mereka mengatakan:
mengajak kepada Al Qur’an. Jawablah pertanyaan saya dengan rinci tentang da’wah
yang engkau serukan itu pada setiap aspek kehidupan! Kemudian ia menerangkan
da’wahnya dan aku dapati da’wahnya tidak keluar dari kitabullah dan
sunnatur-Rasul saw”.
Diceritakan
pula, ketika Thanthawi akhirnya terkesan dan tertarik serta ingin bergabung
dengan Hasan Al Banna, dia bertanya: “Wahai Ustadz! Engkau adalah ustadz kami,
dan ustadz semua orang di Mesir ini, andalah Hakimul Islam, kulihat anda lebih berhak untuk menduduki
kepemimpinan di dalam da’wah ini, ini tanganku, aku siap berbai’at kepadamu”.
Ketika Hasan Al Banna menjawab sungkan, dijawab oleh Thanthawi: “Tidak, wahai
shahibud-da’wah, engkau lebih mampu untuk memikul beban da’wah ini dan engkau
lebih pantas, dan ini tanganku”.
Ketika beliau
bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, teman-teman seangkatan beliau meledeknya
dengan mengatakan: “Anda seorang ulama’ besar dan seorang syekh, mengapa anda
mau menjadi kelompok yang dipimpin seorang anak muda dan anda hanya menjadi
seorang pemimpin redaksi? Dijawab oleh Thanthawi: “Seandainya anda mengetahui
siapa Al Banna, anda akan lebih dahulu bergabung daripada saya, sayang anda
tidak mengetahuinya”.
Dari apa yang
diungkapkan oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud, kita dapat melihat bahwa Hasan Al
Banna adalah orang yang dapat secara akrab menjalin hubungan dengan anggota
setiap kelompok masyarakat tanpa membedakan satu dengan lainnya.
Dalam buku ini
pula dapat kita saksikan bagaimana kearifan sikap Hasan Al Banna ketika
menghadapi Thaha Husain, gembong kerusakan di bidang pemikiran yang membuka
cakrawala pemikiran sesat di kalangan para pemikir Islam di belahan dunia,
ketika ia menerbitkan buku Mustaqbaluts-Tsaqafah
fi Mishr (Masa depan budaya Mesir), yang mendapat sanggahan bertubi-tubi
dari berbagai kelompok yang ada di Mesir. Hasan Al Banna sendiri –karena
kesibukannya- tidak mempunyai waktu untuk menanggapinya. Beberapa pengikutnya
kemudian mengingatkan beliau dan berkata bahwa orang-orang menunggu tanggapan
Ikhwanul Muslimin atas buku Thaha Husain itu, karena kedudukan Ikhwanul
Muslimin saat itu sudah diperhitungkan di masyarakat. Dijawab oleh Hasan Al
Banna bahwa dia sibuk dan tidak sempat membacanya.
Tanpa
sepengetahuan Hasan Al Banna, para pengikutnya merencanakan untuk mengadakan
semacam bedah buku Thaha Husain itu, dengan beliau sebagai pembahasanya. Lima
hari sebelum acara berlangsung, diberitahukan kepadanya mengenai hal ini. Hasan
Al Banna berkata terpaksa dia membaca buku itu dari rumah ke sekolah dan dari
sekolah ke rumah, sementara ia berada di atas treem. Ia membaca buku itu dan
memberi garis bawah bagian-bagian yang penting. Sebelum lima hari buku itu
sudah selesai dibaca dan sudah pula dihafalnya. Buku itu tebalnya dua ratus
halaman lebih.
Bedah buku itu
diselenggarakan di kantor Syubbanul
Muslimin, yang menjadi moderator adalah DR. Yahya Ad-Dardiri, sekjen Syubbanul Muslimin dan hadir pada acara
bedah buku itu tokoh-tokoh Mesir dari berbagai kalangan.
Hasan Al Banna
mengkritik buku itu dengan cara yang unik, dia mengatakan: “Saya tidak akan
mengkritik buku ini dengan pendapat saya, tapi saya akan mengkritiknya dengan
buku ini sendiri”. Kemudian beliau mengungkapkan bagian-bagian yang kontradiktif
dari buku itu, lengkap dengan letak nomor halamannya, sekian dan sekian.
DR. Yahya
Ad-Dardiri kemudian menyetop dan mengatakan bahwa dirinya telah membaca buku
itu, tapi sepertinya dia tidak menemukan apa yang Hasan Al Banna kemukakan, dan
dia meminta kepada Hasan Al Banna untuk mengijinkannya mengecek kebenaran
kutipan-kutipan Hasan Al Banna langsung kepada buku itu. Ternyata terbukti,
seluruh yang diungkapkan Hasan Al Banna benar adanya.
Dalam acara
bedah buku itu sebenarnya Thaha Husain juga hadir, namun ia berada di tempat
yang tersembunyi. Sebelum pulang ia mengatakan bahwa ia ingin bertemu dan
berdialog dengan Hasan Al Banna. Ia menawarkan tiga tempat; di rumahnya, di
kantornya atau di rumah Hasan Al Banna. Adapun waktunya, ia menyerahkannya
kepada Hasan Al Banna. (bayangkan! Seorang mustasyar
atau penasehat negara, menyerahkan waktu pertemuannya kepada seorang guru SD!).
Akhirnya
terjadilah pertemuan di kantor Thoha Husain. Berkata Thoha Husain: “Seandainya
di Mesir ini ada tokoh yang paling besar, andalah orangnya, apa yang anda
sampaikan tentang buku saya, demikian baik”. Kata Hasan Al Banna: “Al
Hamdulillah, adakah hal-hal yang tidak anda setujui?” dijwab oleh Thoha Husain:
“Tidak ada, bahkan saya ingin agar pembahasan itu ditambah lagi”.
Kemudian Thaha
Husain bertanya: “Apakah ada sikap dan perkataan saya yang tidak anda senangi?
Ketahuilah! Selama ini saya berhadapan dengan orang yang tidak mempunyai etika
dalam berdebat, ketika mereka menyerang saya, diri saya-pun diserang.
Seandainya musuh-musuh saya adalah orang-orang semulia anda, sejak awal saya
akan menghormati mereka”.
Hasan Al Banna
menjawab: “Anda adalah seseorang yang cukup bangga dengan Barat, akan tetapi
sayang, anda tidak mampu membedakan dua hal yang sangat berbeda. Adapun ilmu,
itu adalah sesuatu yang terus berkembang, hari ini kita benar, esok hari bisa
jadi kita keliru. Akan tetapi agama, dia adalah sesuatu yang pasti dan tidak
berubah, jika kita menjadikan agama sebagai ilmu, sama artinya kita merubah
agama itu dari hari ke hari, dan jika kita menjadikan ilmu sebagai agama, kita
berarti telah membunuh hak ilmu itu untuk berkembang, padahal semestinya kita
meletakkan keduanya pada tempatnya masing-masing.
Hal yang lain
lagi, kalian –para pengagum Barat- lebih mendahulukan akan daripada wahyu,
ketika akal bertabrakan dengan wahyu, kalian mengambil akal dan membuang
wahyu”.
Dalam kesempatan
dialog itu Hasan Al Banna juga mengkritik polemik yang tejadi antar sesama
ummat Islam. Beliau mengatakan kalau seandainya berpolemik ummat Islam
mempunyai tenggang rasa sedikit saja, mereka akan bertemu pada satu titik
persamaan, akan tetapi sayang, mereka memilih bersikap seperti empat orang buta
yang mensifati binatang gajah, yang kata Imam Al Ghozali, masing-masing
bersikeras pada pendapatnya yang sebenarnya juz’i. Seandainya mereka memiliki
toleransi sedikit saja, mereka bisa bersepakat dalam menilai gajah tersebut
dalam bentuknya yang utuh.
Ustadz Abdul
Halim mencatat, sejak saat itu Thaha Husain menjadi lebih baik sikapnya. Beliau
kemudian memilih untuk mendalami sastra Arab dan mengurangi perannya dalam
menyesatkan ummat.
Adapun hubungan
Hasan Al Banna dengan para ulama’, ketika syekh Abdul yazid datang ke
Indonesia, beliau bercerita: “Di Mesir, ada sebuah kota yang bernama Zaqzuq. Ketika
Hasan Al Banna hendak melakukan kunjungan ke sana, adalah seorang ulama’
tarekat terkenal yang memiliki banyak murid. Ia berupaya membuat makar untuk
menggagalkan acara kunjungan Hasan Al Banna. Namun karena tanggal kedatangan
Hasan Al Banna dirahasiakan, hanya sedikit orang yang tahu, ulama’ ini tidak
mengetahui persis kapan Hasan Al Banna akan datang berkunjung. Pada suatu hari,
sang ulama’ ini dikejutkan oleh seseorang yang mengetuk pintunya untuk
berkunjung. Ulama’ itu bertanya: “Siapa?” dijawab: “Saya, Hasan Al Banna”. Maka
terkejutlah dia, dengan ‘terpaksa’ ia menjamu Hasan Al Banna. Hasan Al Banna
kemudian berkata kepada sang ulama’ itu: “Adalah satu hal yang tidak pantas
bagi saya, ketika saya masuk suatu negeri dengan tidak meminta ijin pada penguasanya”.
Sampai saat ini keturunan ulama’ itu, meskipun tidak bergabung dengan Ikhwanul
Muslimin, setiap kali ada kegiatan ikhwan, selalu membantu.
Demikian pula
sikap Hasan Al Banna terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani. Ketika Ikhwanul
Muslimin mengirim pasukan ke Paletina, Hasan Al Banna mampu mempergunakan Manthiqul Hal dalam berdialog dengan
para penguasa maupun tokoh-tokoh lainnya.
Inilah profil
Hasan Al Banna. Kita perlu
menggali lebih jauh dan dalam lagi. Dalam sejarah, umumnya memang para tokoh-tokoh
utama itulah yang muncul secara mengesankan, sehingga mampu memberi warna
perjalanan da’wah.
Di zaman Rasulullah saw misalnya, sepeninggal Rasulullah bisa dibilang
tidak ada tokoh sehebat beliau yang muncul.
Demikian pula dalam jama’ah ini, yang menurut DR. Al
Faruqi, belum ada tokoh sebesar Hasan Al Banna yang muncul, namun kita tetap
yakin bahwa :
إِنَّ لِكُلِّ
مَرْحَلَةٍ رِجَالُهَا
Sesungguhnya tiap-tiap marhalah itu ada tokohnya.
Pertanyaan kita
hari ini:
رِدَّةٌ وَلاَ
أَبَا بَكْرٍ لَهَا![1]
Kalau pada zaman
dahulu, ada kemurtadan, dan ada Abu Bakar, sehingga kemurtadan itu sirna.
Sekarang ini ada
masyarakat, mana Hasan Al Banna-nya?!!
0 komentar:
Posting Komentar