Cinta adalah “Keyakinan yang Buruk”
Cinta dalam Pandangan Kaum
Eksistensialis
Cinta merupakan “Penindasan
Halus”
Menurut Sartre, perihal di atas
dibuktikan dengan ajegnya seorang pecinta bersusah payah mengabulkan segala
pinta orang yang dicintainya, meskipun terkadang syarat melakukan berbagai hal
yang irasional alias “tak masuk akal”. Sebagai misal, kita kerap mengajak
kekasih bersantap malam di sebuah rumah makan/café mahal guna menyenangkan
hatinya, namun kenyataannya, untuk makan sehari-hari saja kita hanya dapat
mengandalkan “warung angkringan”. Dengan rela dan “ikhlas”, kita pun
menyisihkan sedikit demi sedikit uang yang dimiliki guna memberikan “makan
malam yang berkesan” bagi sang kekasih. Tak pelak, hal tersebut menemui
bentuknya sebagai penindasan halus yang tak kasat mata—ia ada, namun tak
tampak. Begitu pula dengan kasus “pulsa”, “nonton bioskop” dan lain sejenisnya.
Bisa jadi, inilah mengapa banyak orang berkata, “Cinta tak pakai logika”,
dan bisa jadi pula, hal tersebut dapat menjelaskan banyaknya pejabat yang
terdorong untuk melakukan korupsi akibat perilaku konsumtif pasangan hidupnya.
“…the woman in love demands that
the beloved in his acts should sacrifice traditional morality for her and is
anxious to know to know whether the beloved would betray his friends for her,
‘would steal for her’, ‘would kill for her’, etc.” (J.P Sartre, 1956: 369)
Esensi Cinta adalah Menguasai
Dunia Orang Lain
“Cinta membuat individu terasing
dengan dirinya!”, demikian pungkas Sartre. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan ditemuinya
“tuntutan-tuntutan” dalam cinta. Sebagai misal, sang kekasih meminta kita untuk
merubah penampilan, melakukan diet, membentuk tubuh, merubah sikap dan lain
sebagainya. Tak pelak, hal tersebut membuat kita “tak terbebaskan”, dan pada
akhirnya sekedar bermuara pada “keterasingan” kita atas diri sendiri. Semisal,
anda tak suka mengenakan pakaian yang terlampau formal, namun pasangan anda tak
hentinya meminta dan memohon, suka tidak suka, mau tidak mau, anda pun syarat
mengenakannya. Setelahnya, cobalah berdiri di hadapan cermin, saya mengetahui
benar apa yang anda rasakan: serasa tak menjadi diri sendiri, seolah apa yang
anda saksikan seketika itu juga adalah orang lain, begitu terasing!. Cobal
andaikan pula semisal anda adalah pribadi yang suka berpetualang bersama
teman-teman (mendaki gunung, reli, berkemah, dsb.), namun dilatarbelakangi oleh
rasa cemburu yang “tak jelas”, kemudian sang pasangan melarang anda untuk
melakukan serangkaian kegiatan di atas, apa yang anda rasakan? Tak bebas!.
Berbagai hal tersebutlah yang kemudian menyebabkan Sartre turut berkata bahwa
esensi cinta adalah “terjebak pada dunia orang lain”.
“…Love the
Lover wants to be ‘the whole world’ for the beloved.” (J.P Sartre, 1956: 367)
Pernikahan sebagai Pelanggeng
Borjuisme
Tak khayal, berbagai pemikirannya
di atas berimplikasi pada penolakan Sartre terhadap institusi pernikahan. Di
samping berbagai argumen filosofis, menurutnya pernikahan sekedar melanggengkan
lembaga borjuasi/isme. Apa yang dimaksudkannya adalah, apabila kita menikah dan
memiliki anak, sekedar terdapat dua kemungkinan bagi masa depan anak kita. Pertama,
menjadi seorang yang sukses, yang dengan demikian ia menjadi seorang borjuis
(majikan). Kedua, menjadi seorang yang gagal, yang dengan demikian ia
menjadi seorang proletar (buruh). Dan baik keduanya menurut Sartre, sama-sama
melanggengkan lembaga borjuasi—relasi hierarkis yang kaku dan menindas antara
majikan dengan buruh. Kiranya, demikian penjelasan Sartre atas penolakannya
terhadap institusi pernikahan—perlu diingat, ia bukan seorang gay.
0 komentar:
Posting Komentar