Intima’ Jama’i
هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي
هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى
النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ
هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur'an) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah
kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung
dan sebaik-baik Penolong.” (Q.S. Al-Hajj: 78)
Mewujudkan intima jama’i tidak dengan cara permohonan untuk dicatat sebagai
anggota, bukan juga terwujud lewat keluar masuk pos-pos jama’ah dan menghadiri
berbagai pertemuan saja. Esensi intima
jama’i harus mencakup dimensi (kedalaman) yang melampaui batas-batas
formalitas dan bentuk-bentuk lahiriyah. Sehingga komitmen terhadap jama’ah akan
semakin memantapkan kedalaman iman, kekuatan intima kepada Islam dan intima
struktural (tanzhimi).
I. Ab’adul Intima (dimensi intima jama’i)
-
Dimensi pertama dan paling
utama adalah dimensi akidah (bu’dun aqidi).
Secara akidah seorang ikhwah harus intima terhadap perjalanan dan risalah Islam
yang diembannya (intima mashiri wa risali).
Akidahnya harus lurus dan benar-benar sesuai dengan tuntutan Al-Quran dan
Sunah. Keterikatan ini akan melenyapkan ketergantungan pada faktor figuritas
terhadap orang tertentu yang menyebabkan aktivitas dakwah hanya termotivasi
oleh faktor akidah, oleh intimanya dengan Islam dan oleh ketundukan pada
perintah Allah. (Q.S. Al-Fath: 10). Intima kepada jama’ah berarti juga
pengerahan seluruh kekuatan diri untuk dakwah, menundukkan kepentingan
individual untuk kepentingan Islam, bukan sebaliknya. إِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ (Sesungguhnya nilai amal perbuatan itu tergantung dari niat
masing-masing).
-
Bu’dun fikri (dimensi pemikiran).
Pemikiran ikhwah harus terikat dengan fikrah Islam secara total dan prinsipil (Islami mabda wa ushuli). aktivis dakwah
akan menjadi orang yang lain dari yang lain. Dari segi akhlak, pergaulan,
pandangan dan pemikiran. Mereka harus hidup dalam kerangka nilai Islam total.
Menyesuaikan diri dengan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
-
Bu’dun tanzhimi (dimensi struktural).
Dua hal sebelum ini, mungkin saja dimiliki oleh seorang yang tidak intima
kepada jamaah. Sering kita mendapati seorang yang idealis, kuat Islamnya tetapi
tidak memiliki bu’dun tanzhimi. Dimensi ii mengharuskan seorang ikhwah keluar
dari jerat sikap ego dan individualisme, kemudian melebur dalam kepentingan
jama’ah. Intimanya tidak temporal, terus intima dengan apapun kondisi jama’i.
Seorang raja dari kabilah Ghassan mencoba merayu Ka’ab bin Malik ra. Ketika
diboikot oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Tapi surat rayuan itu justru
diremas-remas dan dibakar.
-
As-Sam’u wat tha’ah, timbangannya adalah
ketika menerima tugas yang yukhalif
mashalih fard (berlawanan dengan kepentingan pribadi). Inilah yang disebut husnul indhibath (disiplin yang baik).
Taat dalam masalah yang memang sesuai selera dan kehendak itu biasa. Tetapi
yang sulit bagaimana mengukuhkan taat dalam kondisi yang berlawanan dengan
pendapat dan pandangan pribadi.
Wujud lain dalam husnul indhibath adalah bahwa iltizam
tidak hanya dengan perintah, tapi hanya dengan isyarat sekalipun sudah paham. Lughatu dzaki wal hakim al-isyarah (Bahasa
orang pandai cukup dengan isyarat). Innal
labiba bil isyarati yafhamu (Sesungguhnya orang yang pandai itu paham
dengan isyarat).
II. Muqtadhayatul intima’
Wala
aqidi, loyal terhadap akidah. Mewujudkannya
melalui:
-
Al-isti’la, terlepas dari
ikatan-ikatan duniawi sebagaimana tersebut dalam surat At-Taubah: 24.
قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ
وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ
تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ
بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: "Jika bapak-bapak,
anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang
kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik.”
Sebagian
ulama tafsir menjabarkan arti kata اءَابَاء bukan hanya bapak dalam hubungan
keakraban, tetapi termasuk dalam arti ketua, bos, atasan dan lain sebagainya.
Kata َأَبْنَاء juga bukan terbatas anak
dalam keluarga, tetapi juga bawahan, anak buah dan sebagainya. Imam Syahid,
pada suatu hari raya meninggalkan anaknya, Saiful Islam yang sedang menderita
sakit demam untuk pergi menunaikan kewajiban dakwah. Istrinya sudah meminta
beliau untuk menunda kepergiannya. Imam Syahid berlalu sambil melantunkan
firman Allah surat At-Taubah ayat 24.
-
Tajarrud (totalitas). Tajarrud bukan berarti tafarrugh (kosong dan meninggalkan semua
aktivitas, kecuali dakwah saja. Esensi ruang lingkup tajarrud tercakup dalam uraian berikut:
1.
Tajaruud fikri atau mulazamatul fikrah. Ikatan pemikiran nilai Islam harus melekat total
dalam diri ikhwah. Salah satu penyebab kehancuran umat adalah karena mereka
justru mengambil solusi hasil infiltrasi atau barang impor dari sumber
non-Islam, imitasi tidak orisinal, bukan asli. Karena palsu itu tidak tahan
lama, seperti ginjal atau jantung yang dicangkokkan pada tubuh manusia. Meski
tubuh menerima tapi paling hanya dalam
jangka waktu yang pendek. Itupun dengan perasaan menderita atau penuh siksaan.
Untuk kemudian lemah dan mati. Ikhwah adalah penyangga fikrah islamiyah yang
bertanggung jawab menyebarkan dan mewariskan kepada generasi umat.
2.
Tajarrud ruhi atau totalitas menjaga
kebersihan hati dari segala keinginan yang kotor dan ambisi yang menyimpang.
Ikhwah harus ikhlas dalam mengemban dan memperjuangkan fikrah Islam.
3.
Al-insyighal bima tathlubuhud da’wah.
Menyibukkan diri dengan segenap tuntutan sakwah. Dakwah menjadi obsesinya di
setiap aktivitas.
4.
Wadh’u nafsihi alatan fa’alah lid da’wah.
Berupaya memfungsikan diri sebagai bagian yang bermanfaat bagi dakwah. Ikhwah
harus berupaya menjadi anggota tang tidak tumpul, tetapi tajam, sehingga
kebiasaannya dapat difungsikan untuk kepentingan dakwah. Menerima wazhifah,
harus optimal dan tidak boleh menyepelekan.
5.
Wadh’u nafsihi, usariyah am
fardiyah fi mashlahatid dak’wah. Meletakkan diri, baik keluarga atau pribadi
untuk kepentingan dakwah. Bekorban dengan segala sesuatu baik yang murah atau
yang mahal. Tadhhiyah yang paling berat untuk kita sementara ini adalah
mengorbankan waktu istirahat.
6.
Syu’ur bil ma’uliyah ‘alad
da’wah. Menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap dakwah. Masing-masing ikhwah
harus merasakan bahwa dirinya adalah mas’ul. Sehingga tidak ada yang mengatakan
bahwa satu bidang tertentu bukan urusan saya. Sa’id Hawa mengatakan bahwa bila
jama’ah menderita kerugian dari satu orang, maka akibatnya akan menimpa
seluruhnya. Karena itu pembagian tugas pun merupakan tanggung jawab bersama.
7.
Ishlahu nafsihi wa da’watu
ghairihi. Memperbaiki diri dan menyeru orang lain. Tingkat dai dapat
mempengaruhi orang lain adalah sebagaimana ia dapat menguasai dirinya sendiri.
-
Tha’atullah wa rasulihi
Ketaatan yang teratur dan
disiplin, tidak tergantung keinginan. Beda taat dalam disiplin Islam dan
thaghut. Taat dalam Islam dibangun di atas ilmu dan bashirah, bukan taat buta. Tingkat ketaatan seseorang sesuai dengan
tingkat pemahaman dan wawasan. Setiap ikhwah harus berupaya menambah ilmu dan
memperluas wawasan. Rasul saw. berdoa, “Rabbi
zidni ‘ilma”. Taat pada Allah dan Rasul dapat dipelihara dan tercermin
dalam amal jama’i. Dengan menumbuhkan sikap husnul
jundiyah dan mas’uliyah. Sikap keprajuritan dan tanggung jawab yang baik. Rincian sikap ini adalah sebagai
berikut:
1.
As-Syu’ur bi annal ‘amala fii ayyi maufiqin ‘ibadah wa qurabah. Merasakan bahwa bagaimanapun pekerjaan dalam satu posisi bernilai
ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Dalam posisi apapun, tanggung jawab
yang diberikan harus dirasakan sebagai ibadah, sehingga bisa dilaksanakan
dengan baik. Seorang ikhwah pernah dipenjara puluhan tahun, ia menyadari bahwa
kondisinya saat itu adalah dalam rangka dakwah dan taqarrub, maka dalam rentang
waktu itu ia menghafal Al-Quran, berkebun dan hasil kebun ikhwah di penjara
dapat meringankan krisis ekonomi di Mesir saat itu.
2.
Dawamul isti’dad. Selalu siap siaga.
Rumah amilin adalah ibarat barak-barak dakwah. Kapan pun diseru, mereka segera
bangkit dari barak dan siap melakukan tugas. Sahabat Hanzhalah mendapat julukan
ghasilul malaikah (yang dimandikan
malaikat), lantaran saat mobilisasi jihad diumumkan ia masih bersama istri
barunya kemudian berangkat jihad dan syahid dalam kondisi junub. Sekarang
tubuhnya didapati basah oleh para malaikat.
3.
Taqdirul mas’ul ramzan lil wahdati wal quwwah. Menghormati mas’ul sebagai simbol persatuan dan kekuatan.
Memelihara sikap hormat terhadap mas’ul dan semua rekan dakwah. Dalam satu
peperangan, satu orang prajurit kehilangan tempat airnya. Melihat hal tersebut
seluruh pasukan sibuk mencarikan tempat air itu di sungai. Musuh kaget
menyaksikan persatuan yang demikian kokoh. Temannya kehilangan tempat air saja
demikian, apalagi bila temannya terbunuh. Pernah pula ada seorang ikhwah yang
ditunjuk sebagai mas’ul merasa ada bawahannya yang lebih pandai dari dirinya.
Ia meminta agar ikhwah yang lebih pandailah yang lebih layak menjabat sebagai
mas’ul, namun ikhwah tersebut menolak. Ketika masalah ini sampai kepada Imam
Syahid, beliau mengatakan, “Tetaplah Anda
pada posisi mas’ul, kalau Anda berbuat salah nanti orang tersebut yang akan
membenarkan Anda.” Coba kalau dia menjadi mas’ul lalu melakukan kesalahan
siapa yang akan membetulkannya?
4.
I’tibar mauqi’ihitsughratan bin tsugharil Islam. Menganggap posisinya adalah salah satu sari perbatasan Islam
secara keseluruhan yang harus dipertahankan. Ringkasnya menanamkan rasa
tanggung jawab yang dalam terhadap keberadaan diri di mana saja. Jangan sampai
Islam mendapat keburukan dari posisinya. Pekerjaannya bagaimanapun harus
bermanfaat atau bila ihmal
(menyepelekan) berarti kerugian bagi Islam.
-
Ta’awun
Ta’awun dapat terwujud dengan
sikap-sikap:
1.
Takaful, saling menanggung beban
kolektif antara qiyadah dan junud (prajurit). Tak ada potensi yang dianggap
kecil dan disepelekan.
2.
Tarahum. Sikap ini juga perlu
ditumbuhkan. Pemisahan sikap seorang muslim dengan muslim yang lain, seperti
satu tubuh. Bila ada anggota yang sakit,
maka seluruh tubuh gelisah dan tak dapat tidur. Setiap ikhwah harus mengetahui
dan menyadari tugas dan kewajiban ikhwah lainnya. Jadi tidak ada yang merasa
beban tertumpuk pada dirinya saja. Perasaan seperti ini penting, kata Sayyid
Quthb, orang yang merasakan kebersamaan dalam shaff akan terbebas dari
beban-beban batin. Merasakan bahwa alam semesta itu adalah junud, semua alam
membantu.
3.
Talahum, sedarah sedaging.
Ketiga
unsur sikap ini dilakukan dalam rangka ada’ul
wajib (pelaksanaan kewajiban) dan takhfiful
a’ba (meringankan beban) sesama ikhwah.
-
Tanashuh. Agama itu tegak dengan
nasihat. Yang paling butuh nasihat adalah yang berada dalam posisi mas’ulin.
Dalam hadits dikatakan, An-nashihah li aimmatil muslimin wa
‘ammatihim. Semua ikhwah adalah mas’ul, sebab dampak kesalahan mas’ulin
akan menyeluruh. Untuk proses tanashuh membutuhkan:
1.
Al-Ikhlash mutabadil, keikhlasan dari
dua belah pihak. Dalam sebuah hadis disebutkan,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ
لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat. Kami bertanya (para sahabat), “Untuk siapa?
Beliau bersabda, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya dan pemimpin kaum muslimin
dan orang-orang awam.” Tunaikan nasihat dengan cara yang paling baik dan
terimalah seluruhnya. Khalifah Umar pernah ditegur oleh rakyatnya, “Ya Umar ittaqillah”. Umar berkata, “Laa khaira fiikum An la taquluha wala khaira
fiina in lan nasma’ha. (Tidak ada kebaikan bila kalian tidak mengatakan hal
ini dan tidak ada kebaikan bila kami tidak mau mendengarnya). Memberi nasihat
juga harus dengan hikmah (bijak), maksudnya diatur bahasa penyampaiannya,
dipilih waktunya, lihat salurannya atau jalurnya, barangkali lebih tepat
disampaikan lewat si A.
2.
Sirriyah. Nasihat juga baiknya
disampaikan tidak vulgar di depan orang lain. Kata seorang ulama, “man wa’azha akhahu sirriyah faqad nahahahu
wa zanahu wa man wa’azha ‘alaniyah faqad fadhahahu wa syanahu.“ (Siapa yang
menasihati saudaranya dengan rahasia, ia sungguh telah menasihatinya dan siapa
yang menasihati di depan khalayak berarti ia menghina dan mencacinya). Memberi
nasihat juga tidak harus segera. Bisa dengan didiamkan dahulu, mungkin saja
orang tersebut akan menyadari kesalahannya sendiri. Seperti orang yang diobati
sendiri.
-
Tabadul hubbi fillah
1.
Itsar. Saling menjalin rasa cinta karena
Allah. Perwujudannya yang paling tinggi adalah itsar. Menurut Iman Ghazali
dikutip oleh Sa’id Hawa bahwa itsar itu ada tiga tingkatan. Yang paling rendah
adalah menganggap hak saudara kita sebagaimana hak budak, kalau ada lebihan itu
haknya. Kedua adalah menganggapnya sederajat dan sama dengan dirinya sendiri.
Memenuhi kebutuhan ikhwah sebagaimana memenuhi kebutuhan sendiri. Dan ketiga
yang paling tinggi adalah menempatkan kepentingan saudara kita di atas
kepentingan sendiri. Seperti yang terjadi dalam perang Tabuk. Tiga sahabat
meninggal kehausan karena mementingkan saudaranya. Ini sulit sekali, tapi
inilah bentuk persaudaraan yang dilakukan Rasulullah saw. di Madinah. Dalam
perang, masing-masing ikhwah ingin menggantikan saudaranya. Ada ikhwah yang
telah berkeluarga dijatuhi hukuman mati, ikhwah yang masih bujang ingin
menggantikannya. Alasannya bila ia mati, ia tidak meninggalkan siap-siapa,
sedangkan bila ikhwah yang telah berkeluarga mati, ia nanti akan meninggalkan
istri dan anak-anak yang perlu dipelihara.
2.
I’tibarul akh aula min nafsihi.
Menganggap ikhwah lebih tinggi kepentingannya dari dirinya. Ini termasuk dalam
tingkat itsar yang paling tinggi.
Salamatus shard. Menurut Imam Ghazali bahwa tingkatan ini adalah tingkat terendah
bentuk cinta karena Allah. Abdullah bin Umar
bin ash dijamin masuk surga karena menjelang tidur tidak pernah
menyimpan masalah dengan kaum mukminin. Wala
taj’al fi qulubina ghillan lillazdina amanu. Ghill di sini artinya adalah ganjalan dalam hati yang belum
diungkapkan. Sesama ikhwah harus memelihara perasaan, lapang dada, tidak mudah
tersinggung, mudah memaafkan dan toleran. Yang didahulukan harus husnuz zhann (baik sangka). Mungkin saja
bila saya yang berada dalam posisi yang sama sepertinya, saya juga akan berbuat
serupa. Kalau ingin minum air yang sama sekali tidak mengandung kotoran, maka
orang akan mati kehausan. Orang yang ingin mencari teman tanpa kesalahan sama
sekali juga tidak akan mendapatkan teman.
Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar