LOYALITAS
ISLAM
S
|
alah satu prinsip utama yang
diajarkan dalam aqidah islamiyah adalah
memberikan wala’ (loyalitas). Al Wala’ atau walayah
adalah buah dari mahabbah
(kecintaan). Ketika seseorang mencintai
sesuatu, ia wajib memberikan wala’ kepada
yang dicintainya. Demikian juga halnya manakala seorang hamba mencintai Allah,
maka dia harus memberikan wala’nya
itu kepada Allah. Cinta yang tidak menghasilkan wala’ tidaklah dapat disebut sebagai cinta yang sebenarnya.
Wala’ atau walayah
biasanya diartikan sebagai loyalitas. Menurut Muhammad ibn Said ibn Saliim dalam “Al Wala’ Wal bara fil Islam”, al-walayah
artinya pertolongan, kecintaan, pemuliaan, penghormatan, terhadap orang-orang
yang dicintai baik dzohir maupun batin. Lawan dari kata wala’ adalah baro’ atau 'adawah yaitu kebencian atau permusuhan.
اللَّهُ وَلِيُّ
الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ
كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى
الظُّلُمَاتِ ... (البقرة:257)
Allah Wali dari orang-orang
yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan
orang-orang kafir, wali-walinya adalah syetan, yang mengeluarkan mereka dari
cahaya kepada kegelapan”. (Al Baqarah: 257)
Allah sebagai “waliyullladzina
amaanuu” maksudnya Allah merupakan pemimpin, penolong, dan pelindung bagi
orang-orang beriman. Allah membimbing mereka dengan cinta dan kasih sayang
sehingga mereka terlepas dari kegelapan jahiliyyah menuju cahaya Islam.
Sebaliknya “awliyaa” (para pemimpin,
penolong, dan pelindung) orang-orang kafir adalah thagut. Thagut adalah syetan dan segala yang disembah selain Allah.
Thagut itu jumlahnya banyak dan
mereka menyesatkan orang-orang yang mengikutinya sehingga mereka keluar dari
cahaya Islam menuju kegelapan jahiliyah.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah
mendefinisikan Al Wala’ dan Al Baro’ dengan ungkapan, “Al Walayah kebalikan dari al-‘adawah. Asal pengertian al walayah adalah kecintaan dan
kedekatan. Sedangkan asal pengertian al-‘adawah
adalah kebencian dan kejauhan. Wali artinya orang yang dekat. Dalam Bahasa Arab
“hadza yali hadza” artinya ini dekat
dengan ini. Seperti dalam sabda Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam,
“Serahkan ilmu
waris kepada pakarnya. Bila masih ada yang menyisa daripada harta warisan, maka
ia menjadi milik orang yang paling dekat dengan orang yang mati”.
Berwala’ dalam Islam ini
implementasinya dilakukan dengan memberikan wala’
kepada Allah, Rasul, dan orang-orang yang beriman dalam satu kesatuan,
sebagaimana disebutkan Al Qur-an,
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ
الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (المائدة:55)
Sesungguhnya Wali kamu
hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat
dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (QS. 5, Al
Maaidah:55)
Loyalitas Kepada Allah
Sumber utama dari
Al Wala’ wal Baro’ adalah Kalimat
tauhid “laa ilaha illa-Llah”. Di
antara makna kalimat Tawhid adalah “Laa
waliya illa Llah”(tiada wali yang disembah kecuali Allah). Loyalitas kepada
Allah adalah memberikan kepercayaan bulat untuk dipimpin dan diarahkan oleh
Allah dengan segala kecintaan dan kesetiaan. Maka wala’ kepada Allah bermakna bersedia menyerahkan diri secara total
kepada Allah untuk dipimpin dan diarahkan dengan segala kecintaan. Atau
menyediakan diri untuk dipimpin Allah secara total tanpa sedikitpun perlawanan.
Wala’ kepada Allah ini hanya akan
diterima manakala terdapat Bara
(penolakan) kepada segala bentuk sembahan selain Allah atau kepemimpinan yang
tidak bersumber dari Allah.
Al Waliy merupakan salah satu makna Al Ilah (Sembahan). Dengan kata lain
sesuatu yang disembah adalah sesuatu yang dijadikan pemimpin, penolong,
pelindung atau teman akrab yang sangat
dicintai. Tiada yang boleh diperlakukan sebagai sembahan dalam bentuk seperti
ini kecuali Allah semata. Nabi Ibrahim Alaihissalaam telah menunjukkan sikap
tauhid seperti ini,
قَدْ كَانَتْ
لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا
لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ
أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ ... (الممتحنة:4)
Sesungguhnya telah ada suri
tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia;
ketika mereka berkata kepada kaum mereka:"Sesungguhnya kami berlepas diri
dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari
(kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian
buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja… (QS. 60. Al
Mumtahanah:4)
Al Wala’ kepada Allah ini selain
diartikan loyalitas juga mengandung makna “kesetiaan” dan lawan dari
pengkhianatan. Karena itu, manakala seseorang memberikan wala’nya kepada Allah maka dia tidak boleh mengkhianati-Nya. Dia
pun wajib memberikan kesetiaan kepada
Allah meskipun dia berada dalam keadaan susah.
Bukan itu saja, dia pun harus menyesuaikan diri dengan mengikuti
petunjuk-Nya tentang apa yang dicintai dan diridhai-Nya, tentang apa yang
dimurkai, diperintah dan dilarang-Nya. Sebagai balasannya, Allah akan
memberikan wala’Nya kepada orang
tersebut. Allah pasti akan mencintai, melindungi, membimbing dan menolongnya.
Bahkan orang yang memusuhi wali Allah juga akan menjadi musuh Allah. Dan orang
yang menjadi musuh Allah otomatis menjadi musuh walinya pula. Firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ
بِالْمَوَدَّةِ ... (الممتحنة:1)
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu
menjadikan musuhku dan musuhmu menjadi teman-teman setia, yang kamu sampaikan
kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang”. (Al
Mumtahanah: 1)
Barangsiapa yang
memusuhi wali Allah berarti dia memusuhi Allah. Dan barangsiapa memusuhinya, berarti ia memeranginya. Maka
disebutkan dalam sebuah hadits: “Dan barangsiapa memusuhi penolong-Ku, maka dia
telah memperlihatkan kepada-Ku
permusuhan”.
Bagaimanakah
penampilan orang-orang yang memberikan walanya
kepada Allah sepenuhnya? Sejarah Islam memperkenalkan kepada kita
pribadi-pribadi mulia pencinta Allah dan pemuja-pemuja-Nya yang setia. Pola
kehidupan mereka memang terasa aneh untuk orang-orang di zaman ini, tetapi itu
adalah kenyataan dari hasil keimanan dan amal sholeh mereka. Beberapa hal
berikut ini merupakan sekelumit dari kisah-kisah mereka.
Amirul Mu'minin
Khalifah Umar bin Khattab pernah mengalami kesibukan yang luar biasa. Beliau
asyik mengurus kebunnya sampai masuklah waktu sholat ashar. Ketika beliau
sadar, beliau segera bergegas ke masjid ternyata orang-orang sudah pulang dari
masjid. Khalifah sangat menyesali kejadian itu. Baru kali ini dalam hidupnya
beliau terlambat sholat berjamaah di masjid. Karena kejadian ini, Khalifah Umar
memutuskan untuk menyedekahkan kebun yang melalaikan dirinya.
Ketika melukiskan
pribadi Al Hasan Al Zubdy, Imam Al Zahaby berkata, "Beliau menghabiskan
seluruh waktunya demi ibadah, ilmu, menulis, mengajar dan belajar, hingga
akhirnya Allah memberinya tempat yang istimewa di hati manusia, baik kaum awam
maupun ulama".
Imam Ibnul Qayyim
AL Jauzy sendiri adalah seorang ulama yang sangat sholeh. Dalam perjalanan
hajinya dari Syria menuju Makkah Al Mukarramah beliau menulis Kitab Zadul Ma'ad
yang spektakuler. Kitab itu kadang beliau tulis di atas ontanya yang sedang
melaju menuju Baitullah.
Adapun Imam Ibnu Taymiyah,
guru Ibnul Qayyim terkenal sebagai ulama mujadid (pembaharu) yang banyak
menghasilkan karya besar. Namun hidup beliau senantiasa dalam fitnah karena
dikejar-kejar orang-orang yang memusuhi Islam. Ketika beliau di penjara, beliau
bersenandung,
Apa yang dikehendaki musuh-musuhku daripadaku
sesungguhnya surgaku ada dalam hatiku
Apabila mereka memenjarakan daku, maka penjara itu
tempatku berkhalwat
Dan apabila mereka mengusirku maka
kepergianku adalah tamasya
Dan apabila mereka membunuhku mereka mempertemukan
Aku dengan kekasih-Ku
Beliau berkata,
"Di dunia ini ada satu surga, siapa saja yang tidak memasukinya, ia tidak
akan merasakan surga akhirat". Yang dimaksud surga oleh beliau adalah
"kelezatan iman dan cinta kepada Allah". Demikianlah pendirian Ibnu
Taymiyah yang telah menunjukkan wala-Nya
kepada Allah dan mengabdikan diri untuk berjihad di jalan-Nya.
Gambaran di atas
baru sekelumit saja dari panggung sejarah Islam yang kaya dengan orang-orang
sholeh dan sepak terjangnya di jalan Allah.
Loyalitas Kepada Rasulullah
Sebagai
konsekuensi mencintai Allah adalah mencintai Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa
Sallam dan mengikuti beliau. Nabi
Muhammad adalah kekasih Allah. Karena itu, mencintai Allah juga harus
diwujudkan dengan memberikan wala’ kepada Nabi. Inilah makna firman Allah,
قُلْ إِنْ
كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (آل عمران:31)
Katakanlah:"Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3.
Ali Imraan:31)
Nabi Muhammad
Shollallahu Alaihi Wa Sallam adalah seorang hamba yang diutus Allah untuk
memimpin manusia dalam beribadah kepada-Nya. Karena itu berwala’ kepada Nabi artinya dengan segala kecintaan menjadikan Nabi
Muhammad sebagai kekasih, pemimpin,
pembimbing hidup, penuntun jalan, idola, dan panutan yang dibela dengan segenap
daya upaya dan pengorbanan dalam rangka berwala’
kepada Allah. Hal ini tidak bertentangan dengan berwala’ kepada Allah, malahan menjadi konsekuensi dari wala’ kepada Allah sebagaimana mengikuti
Rasulullah merupakan konsekuensi cinta dan taat kepada Allah.
Berwala’ kepada Rasulullah Shollallahu
Alaihi Wa Sallam menjadikan wala’ seseorang
kepada Allah mengikuti manhaj
(konsepsi) yang benar dan diridhai Allah. Nabi Muhammad adalah sebaik-baik
manusia dalam hubungannya dengan Rabbul Alamin, menjadi contoh dan teladan
utama dalam menegakkan Kalimat tauhid.
Rasulullah adalah
Kholilullah (Kekasih Allah) sekaligus
Waliyullah (Sahabat Dekat Allah).
Inilah manusia yang paling dicintai Allah sepanjang adanya kehidupan. Mengapa?
Karena beliau diberi Allah karunia terbesar sepanjang sejarah kehidupan. Beliau
adalah hamba pilihan Allah dan utusannya yang terakhir untuk segenap manusia.
Beliau telah menunaikan tugas mulia ini dengan sukses. Ia telah meletakkan
pancangan "Iqomatud diin" (penegakkan Agama) yang akan tetap
terpelihara sampai hari kiamat nanti.Rasulullah merupakan orang yang paling
bersyukur kepada Allah atas karunia dan ni'mat yang diberikan-Nya. Beliau
merupakan manusia paling thaat dan patuh pada ajaran yang dibawanya. Menjadi
contoh dan teladan bagi pelaksanaan ajaran Islam sepanjang masa. Karena itu
Allah dan para Malaikat memuji beliau,
إِنَّ اللَّهَ
وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً (الأحزاب:56)
Sesungguhnya Allah
dan Malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman,
bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan baginya".
(Al Ahzab: 56)
Bila Allah dan
para Malaikatnya menyampaikan sholawat kepada Rasul, maka kita lebih wajib lagi
untuk mengucapkannya. Dari itu Rasulullah sendiri berkata, "Barangsiapa yang bersholawat kepadaku sekali, Allah bersholawat
kepadanya sepuluh kali" (HR. Muslim)
Suatu ketika
shahabat Rasulullah Umar bin Khattab datang menemui Rasulullah Sholallahu alaihi
wa sallam. Umar radliyallahu anhu berkata kepada beliau, "Ya
Rasulullah, aku mencintaimu!".
"Seperti apakah kecintaanmu padaku hai
Umar?" , tanya Rasulullah.
"Aku mencintaimu seperti aku mencintai diriku
sendiri!" , sahut Umar.
"Tidak, hai Umar!! Engkau baru dikatakan mu'min
bila mencintaiku lebih dari mencintai dirimu sendiri". kata Rasulullah
menegaskan.
Umar berkata,
"Kalau begitu, aku mencintaimu lebih
dari diriku sendiri".
"Nah sekarang baru benar" , kata Rasulullah
salallahu alaihi wa sallam.
Jelas bahwa
Rasulullah mengajarkan para shahabatnya untuk lebih mencintai beliau dari diri
mereka sendiri. Dalam ajaran Islam
kecintaan seperti ini merupakan pertanda lurusnya iman seseorang. Beliau
bersabda,
Tidak beriman salah seorang dari kamu sehingga aku
lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, atau seluruh manusia". (HR.
Bukhari)
Hal ini berarti,
kecintaan kepada Rasulullah tidak boleh dikalahkan oleh kecintaan kepada istri,
anak tersayang, profesi, hobbi, bangsa, negara, dan sebagainya. Bila tidak,
maka kita tidak bisa digolongkan orang mu'min! Jika ada orang mengaku beriman,
tetapi ternyata hawa nafsunya belum bisa meninggalkan suatu yang dilarang
Rasulullah, maka imannya dusta, dan ia tergolong munafik! Hal ini ditegaskan
pula oleh Rasulullah,
Tidak beriman salah seorang dari kamu, sehingga hawa
nafsunya mengikuti apa yang aku bawa". (HR. Bukhari Muslim)
Kalau kita buka
lembaran sejarah dan menelusuri kembali rangkaian kisah generasi pertama dari
kalangan sahabat Rasulullah dan para pengikutnya, niscaya akan kita jumpai
contoh-contoh manusiawi yang mengagumkan tentang bagaimana mereka merasakan
gelora cintanya kepada Allah dan Rasul.
Al Baghawi
menuturkan kisah dialog Rasulullah dengan Tsauban, seorang khadam (pelayan) yang sangat cinta pada beliau. Suatu hari, saat
Rasulullah menjumpai Tsauban, serta merta raut wajahnya berubah. Lalu
Rasulullah bertanya padanya, "Mengapa
rona wajahmu berubah Tsauban?". Dengan serius, Tsauban menjawab, "Saya tidak sakit ya Rasulullah,
kecuali hanya saya tidak dapat memandangmu. Saya merasa begitu sepi dan dicekam
oleh rasa ketakutan yang luar biasa. Ketakutan dan kesepian itu baru hilang
sampai saat saya berjumpa denganmu. Kemudian saya ingat akan akhirat, dan
sayapun kembali diliputi oleh rasa cemas kalau-kalau saya tidak dapat melihat
engkau. Bukankah engkau kelak diangkat
dan dikumpulkan dengan para Nabi lainnya. Sedangkan saya, jika saya masuk surga
mungkin saya tidak bisa tinggal dekat denganmu. Tetapi jika saya tidak masuk
surga, tentu saya tidak akan dapat memandangmu lagi selama-lamanya".
Itulah ungkapan
perasaan Tsauban yang teramat mencintai Rasulullah. Perasaan seperti itu
sungguh mengagumkan, sehingga Allah sendiri berkenan menjawab keresahan hati
Tsauban. Kepada Rasulullah turunlah Surat An Nisa ayat 69, sebagai jawaban bagi
kerinduan hati Tsauban:
وَمَنْ يُطِعِ
اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ
أُولَئِكَ رَفِيقاً (النساء:69)
"Siapa saja
yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama dengan orang-orang
yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiqin, para
syuhada dan orang-orang yang shaleh. Mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya"
Loyalitas
kepada orang-orang yang beriman
Bagian ketiga dari wala’ dalam
Islam adalah berwala’ kepada
orang-orang yang beriman. Loyalitas yang diberikan kepada orang-orang mu'min
merupakan perwujudan dari berwala’ kepada
Allah dan Rasulnya. Al Qur-anul Karim telah menjelaskan bahwa orang-orang yang
beriman adalah awliya Allah (para
wali Allah).
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ
اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
(يونس:63-62)
Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka
selalu bertaqwa. (QS. 10:62-63)
Karena mereka
merupakan awliya Allah maka setiap
mereka hendaknya saling memberikan wala.
Dalam hubungan interaksi sesama mu’min diwajibkan adanya mahabbah (kecintaan) antara seorang muslim dengan yang lain. Adapun
tingkatan mahabbah yang paling rendah adalah bersihnya hati (salamush shadr) dari perasaan hasud,
membenci, dengki dan sebab-sebab permusuhan dan
pertengkaran. Mahabbah dalam
kesehariannya direalisasikan dalam bentuk sikap wala’ (loyalitas, tolong menolong, saling membimbing) antara satu
dengan lain, “ba’duhum awliya-u ba’din”.
Bentuk wala’ yang paling tinggi
adalah itsar, yaitu mengutamakan
memenuhi kepentingan saudaranya sesama muslim daripada kepentingannya sendiri.
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ (التوبة:71)
Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong)
sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at kepada Allah
dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 9. At Taubah:71)
Berbagai bentuk itsar, sebagai wala’ yang tertinggi telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya. Di antaranya adalah persahabatan antara Abu Bakar dan Rasulullah.
Abu Bakar senantiasa mengutamakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam
dari kepentingan dirinya. Ketika
keduanya berada di gua Tsur dalam perjalanan hijrah yang menegangkan misalnya,
Abu Bakar selalu melindungi Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam.Abu
Bakar tidak berani membangunkan Nabi yang
tertidur di pangkuannya. Padahal kakinya dipatuk ular. Dia tetap menahan
rasa sakitnya yang bersangatan karena tidak ingin mengganggu Nabi yang
kelelahan dan beristirahat di pangkuannya. Nabi terbangun karena tetesan
airmata Abu Bakar yang kesakitan. Setelah terbangun, Nabi pun mengobati luka
Abu Bakar …
Benarlah
Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,
"Tidak
sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri." (HR.Muttafaqun'Alaih)
Dengan demikian maka ia juga membenci segala sesuatu yang menimpa atas
saudaranya sebagaimana ia membenci sesuatu itu menimpa dirinya. Maka jika ia
senang bila dirinya memperoleh kemakmuran hidup maka ia juga menginginkan hal
yang demikian itu terhadap saudaranya. Dan jika ia menginginkan mendapat
kemudahan dalam kehidupan berkeluarga(nya), maka ia juga menginginkan hal itu
diperoleh orang lain. Dan jika ia ingin anak-anaknya menjadi cerdas, maka ia
juga menginginkan hal yang sama untuk orang lain. Dan manakala ia menginginkan
untuk tidak disakiti baik ketika berada di rumah atau ketika sedang bepergian,
maka begitu pula ia menginginkan kepada seluruh manusia. Dengan demikian ia
menempatkan saudaranya seperti dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai dan
benci.
Berwala’ kepada orang-orang
beriman mewajibkan kaum muslimin meninggalkan wala’ kepada selain Allah, Rasul
dan orang-orang yang beriman. Ini berarti kaum muslimin harus mengangkat
pemimpin dari kalangan mereka
sendiri. Sejalan dengan firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلاً (النساء:59)
Hai orang-orang yang
beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)
Islam telah melarang kaum muslimin untuk memberikan wala’nya kepada orang-orang selain
mereka. Memberikan wala’ kepada
orang-orang kafir akan membawa kepada kemunafikan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَاناً مُبِيناً
(النساء:144)
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata
bagi Allah (untuk menyiksamu) (QS. 4:144)
Memberikan wala’ kepada
orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah pengkhianatan yang membuat pelakunya
digolongkan kepada golongan mereka
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ
اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (المائدة:51)
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. 5:51)
0 komentar:
Posting Komentar