Al Iltizam
Iltizam adalah bentuk ikatan. Iltizam yang
kita harapkan adalah yang tumbuh dengan baik yaitu kesadaran sendiri dari dalam
diri seseorang yang dilandasi pengetahuan yang utuh. Untuk itu seseorang perlu
mengetahui ruang lingkup iltizam yang baik, sehingga akan mendapatkan berkah
dari Allah Taala. Iltizam secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua bagian
yaitu iltizam dengan syariah dan dengan jamaah. Dari iltizam tersebut
diharapkan terbentuk seseorang yang mempunyai kepribadian yang utuh dan
sempurna.
Pokok-Pokok Materi
1.
Pengantar iltizam
2. Makna iltizam terhadap kualitas amal dalam dakwah.
3.
Membangun
iltizam dari dalam diri.
4.
Iltizam dengan syariah: aqidah
as shalihah, ibadah salimah, Al-akhlaq Al-hamidah, ad dakwah wal jihad asy
syumul wa tawazun.
5.
Iltizam dengan jamaah: bai’ah, ansyitah, wadzifah, infaq, qararat, dan taat kepada pemimpin.
Mukadimah
Iltizam adalah suatu komitmen yang lahir dari dalam diri (wa’yu dzati) dan bukan sesuatu yang
bersifat kamuflase (kepura-puraan)ataupun paksaan.
Menurut
Fathi Yakan, iltizam adalah sebuah
komitmen terhadap Islam dari hukum-hukumnya secara utuh dengan menjadikan Islam
sebagai siklus kehidupan, tolak pikir dan sumber hukum dalam setiap tema
pembicaraan dan permasalahan. Sebagaimana perintah Allah Taala dalam, QS. 2:208
agar seorang muslim masuk ke dalam Islam secara kaffah.
Jika
seorang muslim telah menjadikan Islam sebagai titik tolak berfikir dalam segala
hal maka sikap dan perilakunya bukan sekadar dibuat-buat melainkan dilakukan
dengan kesadaran.
Dari
ilmu dan pemahaman diharapkan menumbuhkan keyakinan dan iman yang kemudian mensibghah dan pada akhirnya membentuk
sikap serta perilaku yang Islami.
Imam
syahid Hasan Al-Bana membagi manusia ke dalam tiga kelompok berdasarkan
pemahaman dan tingkatan akidahnya:
Kelompok
yang menerima iman Islam secara doktrin atau dogmatis yang tidak disertai ilmu
dan pemahaman yang memadai. Kualitas keyakinannya minim dan biasanya berubah
menjadi keragu-raguan bila ada hal yang menimbulkan keraguan pada dirinya.
Kelompok
yang menerima iman Islam karena sesuai dengan logika dan pemikiran bila
diungkapkan dengan dalil-dalil berupa logika qurani, maka keimanan dan
keyakinan semakin mantap dan bertambah kuat. Hanya saja amalnya masih kurang
nampak atau belum terealisir secara baik. Jadi keyakinannya baru sampai tataran
logika.
Kelompok
yang menerima iman Islam karena memadukan unsur pikir, pemahaman dan ketaatan.
Jadi semakin yakin ia akan semakin taat melaksanakan amal shaleh dan
memperbaiki ibadahnya hatinya selalu diterangi cahaya Allah.
Indikasi-Indikasi Iltizam
Paling tidak harus ada dua indikator yang menunjukkan bahwa
seseorang memiliki iltizam atau komitmen:
Ada
indikator lahiriah yang jelas dan kongkrit. Misalnya seorang muslim yang shaleh
akan hampir selalu terlihat shalat berjamaah di masjid atau muslimahnya menutup
aurat dengan memakai jilbab. Jadi logikanya tidak bisa dibalik bahwa orang yang
shalat di masjid belum atau muslimah berjilbab belum tentu baik. Hal tersebut
di atas memang tidak bisa digeneralisir dan kita sulit mengatakan seseorang
memiliki iltizam jika ia enggan shalat atau enggan ke masjid dan enggan menutup
aurat.
Adanya
muraqabah dzatiyah. Kita memang tidak
boleh hanya mengandalkan muta ba’ah
zhahiriyah, melainkan juga harus menumbuhkan muraqabah dzatiyah agar amal yang dilakukan tidak dinodai kepura-puraan,
kamuflase, nifaq, dan riya. Artinya di manapun dan dalam situasi dan kondisi
yang bagaimanapun apakah ada orang atau tidak, giat atau malas, suka atau tidak
suka, dicaci atau di puji kita tetap konsisten dalam melakukan amal shaleh.
Sebagaimana Rasulullah saw. berpesan kepada seorang sahabat yang belum mau
pulang atau kembali ke daerah asalnya untuk berdakwah.
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ
السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah
kepada Allah di manapun kamu berada dan iringilah perbuatan buruk dengan
perbuatan baik. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”
Urgensi Iltizam
Iltizam
merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi seorang muslim apalagi bagi
aktivis Islam atau para dai, karena iltizam merupakan indikasi amal yang sangat
diperlukan dalam konteks kehidupan berjamaah.
Tidak
mungkin ahdaful jamaah dapat
terealisir tanpa ada junud atau
anggota-anggota jamaah yang akan melaksanakan ahdaf dan beriltizam terhadap uslub
untuk mencapai ahdaf tersebut.
Hasan
Al-Bana menegaskan bahwa awal kesiapan seseorang untuk memasuki tahapan takwin dan tanfidz ialah jika ia memiliki at
thaat kaamilah atau ketaatan yang sempurna. Oleh karena itu sasaran atau ahdaf dalam berjamaah tidak akan
terwujud tanpa adanya junud yang
komit atau berilitizam dalam melaksanakan uslub
untuk mencapai ahdaf.
Padahal
jamaah Islam sebagai sebuah harakah
yang tertata memiliki ahdaf
(tujuan-tujuan) dan berusaha untuk mencapainya ahdaf yang dimaksud ialah mendapatkan mardhatillah, meninggikan
kalimat Allah, mengibarkan panji-panji Islam
kemudian menegakkan Islam di seluruh muka bumi.
Dalam
mencapai ahdaf tersebut jamaah
memiliki aqayiz dan auzan (kriteria-kriteria dan
aturan-aturan). Berdasarkan kriteria-kriteria dan aturan-aturan tersebut
diseleksilah para dai dan aktivis yang layak untuk terlibat dalam jamaah (jadi
memiliki pola taqwim). Beberapa di
antara kriteria tersebut adalah thaat,
iltizam, dan jiddiah (kesungguh-sungguhan).
Sehingga
sekalipun ada seorang ulama yang paling bertaqwa atau wara’ namun tidak mau komit atau beriltizam, maka ia tidak layak
masuk jamaah dan tidak dianggap sebagai anggota atau a’dha jamaah, melainkan sekadar sebagai seorang muslim yang
dicintai jamaah.
Kualitas
seorang a’dha dalam jamaah dapat
dilihat dari sejauh mana kualitas iltizamnya. Semakin besar kadar
keiltizamannya seseorang berdasarkan kriteria-kriteria tersebut di atas, maka
semakin berbobot pula kualitas dirinya.
Dua Jenis Iltizam
Iltizam
secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni iltizam terhadap
syariat dan iltizam terhadap jamaah.
Iltizam
terhadap syariat meliputi aqidah salimah, ibadah shahihah, akhlaq hamidah,
dakwah wal jihad, syumul wa tawazun. Sedangkan iltizam terhadap jamaah
melingkupi bai’ah, ansyitah, wadzifah, infaq, qararat dan taat kepada pemimpin.
Dimilikinya
kedua jenis iltizam tersebut dalam diri seseorang diharapkan akan membentuk
manusia yang utuh (insan mutakamil).
1. Iltizam terhadap Syariat
Beriltizam
atau memiliki komitmen terhadap aqidah
shahihah. Yang dimaksud dengan aqidah salimah ialah akidah yang sehat,
bersih dan murni terbebas dari segala unsur nifaq dan kemusyrikan. Dalam QS 2:
165 disebutkan bahwa ada orang–orang yang menjadikan tuhan-tuhan selain Allah
sebagai tandingan bagi Allah. Dan mereka mencintai ilah-ilah tandingan tersebut
sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat
dicintainya kepada Allah, dari ayat tersebut terlihat bahwa kita tidak boleh
mengambil sesuatu selain Allah sebagai Tuhan yakni sesuatu yang dicenderungi,
dicintai, disembah dan mendominasi hidup kita. Demikian pula dalam segala hal
prioritas cinta, kita harus meletakkan cinta kepada Allah dan kemudian jihad di
jalan-Nya sebagai prioritas pertama dibanding dengan orang tua, anak,
suami/istri, kerabat, harta perniagaan atau rumah kediaman (QS 9: 24), seperti
nampak pada keikhlasan muhajirin meninggalkan segala-galanya yang ada di Makkah
dan keridhaan para sahabat Anshar untuk menolong mereka. Bagi mereka ridha
Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya.
Beriltizam
atau berkomitmen terhadap ibadah yang salimah
dan istimrar (kontinyu). Seorang
a’dha sebagai muslim memiliki kewajiban untuk melakukan ibadah yang shahih
terbebas dari segala bid’ah dan
khurafat. Dan ia terikat kepada kewajiban tersebut. Sayid Qutb pernah
mengatakan bahwa kualitas iltizam seseorang pertama-tama diukur dari
komitmennya terhadap shalat baik dari segi ketepatan waktu maupun
kekhusyuannya. Shalahuddin Al-Ayyubi, pahlawan pembebasan Al-Quds selalu
memantau di malam hari sebelum perang siapa-siapa saja yang tendanya terang
karena menegakkan shalat malam dan tilawah Al-Quran dan mereka itulah yang
kemudian diberangkatkan ke medan jihad keesokan harinya. Dan ada seorang ulama
salafus shaleh yang memimpikan Junaid Al-Baghdadi setelah ia wafat. ketika
ditanya apa yang diperhitungkan oleh Allah terhadapnya. Ia ternyata menjawab,
“Hilang semua amalku tak ada yang memberi manfaat kecuali beberapa rakaat di
waktu malam. Hal itu menunjukkan bobot nilai shalat tahajud.
Memiliki
komitmen atau beriltiazam kepada akhlaq
hamidah (akhlak terpuji). Akhlaq
hamidah jelas harus dimiliki oleh seorang a’dha yang beriltizam. Dan akhlaq hamidah yang dimaksud tentu saja
akhlak yang Islami dan qurani. Sebagaimana mana Rasulullah diutus untuk
menyempurnakan akhlak manusia dan dipuji Allah sebagai orang yang berbudi
pekerti agung. (QS 68: 4) Aisyah ra. Mengatakan bahwa akhlak beliau adalah
Al-Quran. Artinya jika ingin melihat bagaimana Al-Quran dijabarkan secara
konkret dalam sikap, perilaku, dan tindak tanduk di segala aspek kehidupan,
lihatlah diri Rasulullah. Rasulullah boleh dikatakan “the living quran” atau Al-Quran yang hidup. Bila seorang dai
memiliki akhlak yang Islami ia akan mendapat manfaat antara lain bahwa dirinya
patut menjadi teladan. Akhlak terpujinya itu juga menjadi daya tarik dakwah dan
dirinya juga akan selalu terhindar dari fitnah. Rasulullah saw misalnya pernah
dikatakan dukun, tukang sihir, gila dan sebagainya, tetapi akhirnya
fitnah-fitnah itu terlepas dengan sendirinya melihat keutamaan pribadi
Rasulullah. Begitu pula fitnah keji berupa tuduhan zina terhadap ummul
mukiminin Aisyah ra yang dikenal dengan peristwa ‘haditsul ifki’. Beliau akhirnya mendapatkan pembelaan langsung dari
Allah dalam surat An-Nur.
Komit
atau memiliki iltizam terhadap dakwah
wa jihad, dakwah dan jihad. Seorang a’dha yang memiliki komitmen terhadap
jamaah dengan harakah, tentu saja
harus memiliki iltizam terhadap dakwah dan jihad. Dakwah dan jihad memang tidak bisa dipisahkan satu
sama lain seperti dua sisi mata uang. Dakwah adalah upaya untuk meraih
keberuntungan di sisi Allah dengan jalan menyeru kepada kebaikan, menyuruh
orang berbuat ma’ruf dengan mencegah
yang mungkar (QS 3: 104). Sedangkan keutamaan jihad
sudah tidak diragukan lagi. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda,
“Barang siapa yang tidak pernah melakukan jihad dan tidak pernah berniat untuk
berjihad, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyah” jihad memang dapat
dilakukan dengan berbagai bentuk seperti jihad bil mal, bil lisan, dan lain-lain, namun jihad tertinggi adalah qital. Ada konsekuensi logis ketika
seseorang beriltizam pada jihad yakni ia juga harus beriltizam terhadap segala
sesuatu yang merupakan persiapan untuk itu seperti tarbiah takwiniah yang istimrar
dan lain-lain.
Berkomitmen
atau beriltizam terhadap syumul wa tawazun. Dienul Islam ajaran yang syamil (integral, komprehensif) dan mutakamil (utuh) serta mutawazinah
(seimbang). Pendek kata Islam adalah agama yang sempurna dan diridhai Allah (QS
5:3, 3:19) Sebagaimana alam semesta diciptakan sempurna, tidak ada kekurangan
(QS 67: ) dan dalam harmoni tawazun
(keseimbangan) seperti dalam (QS 55: 7-9), maka manusia pun bagian dari alam
semesta diciptakan Allah dalam keadaan sebaik-baik rupa (QS 95: ). Umat Islam
juga dikatakan sebagai “umatan wasatha’“ (umat
pertengahan). Ajaran sarat dengan kesyumuliahan
dan ketawazunan. misalnya ajaran Islam
menyentuh seluruh aspek kehidupan mulai dari hal sepele sampai yang paling
berat dan kompleks, (syamil).
Kemudian Islam mengajarkan manusia berikhtiar
maksimal (QS 13: 11) tetapi juga menyuruh bertawakal (QS 65: ). Islam melarang
manusia kikir, tetapi juga tidak membolehkan berlaku boros, israf ataupun melakukan kemubadziran.
Jadi seorang a’dha dalam Iltizamnya
terhadap syariah harus memiliki
komitmen pada syumuliatul dan ketawazunan Islam.
2. Al-Iltizam Bil Jamaah
a.
Iltizam terhadap bai’ah.
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ
وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ
فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka
membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di
dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu
lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 9: 111)
Satu-satunya
ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah harta dan jiwa, tetapi mendahulukan
jiwa adalah ayat di atas. Dan transaksi ‘jual-beli’ antara Allah sebagai
pembeli dan mukmin sebagai penjual ini erat kaitannya dengan masalah bai’ah. Sikap iltizam terhadap bai’ah
yang telah diucapkan nampak jelas pada tokoh Anshar, Nusaibah binti Ka’ab dan
Habibi bin Zaid. Nusaibah dengan bai’ah Aqabah II, bertempur mati-matian
melindungi dan menjadi perisai Rasulullah di perang Uhud tatkala kebanyakan
tentara Islam lain kocar-kacir panik terhadap serangan balik mendadak Khalid
bin Walid. Atau Habib bin Zaid yang disiksa Musailamah Al-Kadzab karena tidak
mau mengakuinya sebagai nabi, tidak rela menodai bai’ah yang telah Habib bin
Zaid diucapkannya walaupun untuk itu ia harus menebusnya dengan nyawa. Tubuhnya
dicabik-cabik dan disayat-sayat selagi masih hidup. Sekali kita mengucapkan
bai’ah seumur hidup kita terikat untuk beriltizam kepadanya.
b.
Komit terhadap ansyithah (kegiatan-kegiatan) baik yang kharijiah (eksternal) maupun dakhiliyah
(internal). Seorang a’dha seyogianya memiliki komitmen terhadap semua ansyithah (kegiatan) dalam jamaah baik
yang bersifat dakhiliyah (internal)
maupun kharijiah (eksternal).
Kegiatan internal seperti berusaha selalu hadir dengan tepat waktu dalam acara
rutin liqa’ usari dan liqa’ tatsqifi serta daurah-daurah
pembekalan dan pengayaan seperti daurah
siyasi, daurah murabbi, jalasah ruhiyah dan lain-lain yang
diadakan secara berkala. Kemudian bila jamaah terutama dalam era hizbiyah/kepartaian ini banyak melakukan
manuver-manuver keluar seperti bakti sosial di daerah-daerah bencana,
pengerahan logistik berupa nasi bungkus untuk acara ‘muzhaharah’, penggalangan masa atau demo, tentu saja semuanya harus
diikuti pula dengan penuh semangat. Intensitas keterlibatan kita yang tinggi
dengan semua kegiatan jama’ah insya Allah akan membuat iltizam kita kepada
jamaah semakin kokoh.
c.
Beriltizam terhadap wazhifah
(tugas-tugas) yang dibebankan jamaah kepadanya. Iltizam atau komitmen terhadap tugas yang dipikulkan pada kita
merupakan aspek yang pokok dan mendasar dalam hubungan struktural tanzhim, seorang a’dha harus menyesuaikan diri dengan segala tugas yang dipikulkan
ke pundaknya. Baik tugas itu disukai atau tidak dan baik ia sedang rajin maupun
malas. Bukan tugas atau wadzhifah
yang harus disesuaikan dengan kondisi dirinya, melainkan a’dha tersebut yang harus menyesuaikan diri dengan tugas-tugas yang
diamanahkan kepadanya. Sikap seorang a’dha
dalam masalah wadzhifah tanzhimiyah
hendaklah bijak. Ia tidak akan pernah mencari-cari atau meminta jabatan ataupun
wadzhifah tanzhimiyah, namun bila
kemudian diamanahi, ia tidak boleh mengelak atau menolak. Seperti Said bin Amir
yang dimarahi oleh Umar bin Khathab karena tidak mau mengemban amanah sebagai
gubernur di Himsh (Suriah sekarang).
“Celaka engkau hai Said, kau bebankan di
pundakku beban yang berat (dibaiah sebagai amirul mu’minin), tetapi kau tak mau
membantuku “ Akhirnya barulah Said bin Amir mau menerima amanah tersebut.
d.
Iltizam atau komit terhadap infaq, baik yang wajib maupun yang sunnah. Sahabat
ada yang pernah meminta cuti atau dispensasi (keringanan) dalam hal jihad dan
infaq. Rasulullah pun menjawab dengan sangat tajam, “Wa la shadaqah wa la jihadu fiima tadkhulul jannata araan? “Tidak mau
bersedekah dan tidak berjihad, jadi
dengan apa kalian akan memasuki surga“. Keutamaan berinfaq atau berjuang
dengan harta dan jiwa (QS 9: 111, 61:10-11) sangat sering diungkapkan dalam
firman-firman Allah. Bahwa ia akan membalasnya dengan beratus-ratus kali lipat,
bahkan dengan surga. Bahkan contoh-contoh keutamaan Abu Bakar, Umar, Utsman,
Ali, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurahman bin Auf, Sa’ad bin Raby, Abu Thalhah dan
Ummu Sulaim, Aisyah dan Asma binti Abu Bakar, Zainab binti Jahsy, Khadijah, dan
lain-lain terukir indah dalam sejarah Islam. Maka suatu kewajaranlah bila kita
yang telah berbaiat ini terikat untuk memenuhi kewajiban berinfaq, baik yang
wajib maupun yang sunnah.
e.
Beriltizam terhadap qararat (keputusan-keputusan)
jamaah. Seorang a’dha muntadzim yang bukan hanya beriltizam terhadap syariat
tetapi juga pada jamaah seharusnya selalu berada dalam shaf jamaah. Ia berusaha
menjalankan tugasnya sebaik-baiknya di manapun ia diputuskan oleh jamaah untuk
ditempatkan. Bahkan dalam hadits dikatakan, “Surga untuk seorang hamba jika ia mendapat bagian jaga ia berjaga
dengan baik.” Ia pun akan komit pada kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan
jamaah dalam amal dan uslub dakwah.
Ia terikat dengan keputusan-keputusan, kebijakan-kebijakan jamaah dengan
perintah-perintah qiyadah. Sekalipun
bertentangan dengan keinginan dan pendapat pribadi. Hendaknya kita harus selalu
berprasangka baik bahwa keputusan tersebut adalah yang paling tepat untuk
mendatangkan kemaslahatan. Kita bisa mengambil ibrah dari fiqhus shalat
agar senantiasa taat dan husnuz zhan pada
qiyadah. Dalam shalat bila kita
sebagai ma’mum sedang membaca al-fatihah, tetapi imam sudah takbir akan ruku,
kita harus segera mengikuti imam, walaupun kita belum siap atau belum selesai
membaca al-fatihah.
f.
Komit terhadap “tha’atul qiyadah”
taat terhadap pemimpin. Ketaatan seorang muslim yang total, utuh dan bulat,
memang hanya kepada Allah dan Rasul-Nya (QS 3: 31, 32, 132, 4: 59, 80). Namun
di ayat 4: 59 itu pun disebutkan kewajiban taat kepada pemimpin atau ulil amri yang beriman sepanjang tidak
dalam rangka kemaksiatan dijalan Allah. Karena laa thaata li makhluqin fi
ma’siatil Khaliq’ (tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam rangka
maksiat kepada Sang Pencipta). Seorang a’dha
yang telah mengucapkan bai’ah untuk
taat dalam giat atau malas, suka atau tidak suka keadaan harus menaati qiyadahnya atau naqibnya sebagai sosok kepemimpinan dalam jamaah yang terdekat
dengannya.
Untuk
mengefektifkan iltizam seorang a’dha baik dalam ruang lingkup syar’i maupun
tanzhimi, hendaknya seorang a’dha memiliki pemahaman yang baik tentang
perjalanan yang benar dalam melakukan amal Islam yang kemudian keimanan dan
ketakwaan yang senantiasa terjaga.
Iltizam
kepada kewajiban-kewajiban syariah
membuat seorang muslim menjadi syakhshiyah
muslimah atau pribadi Islami. Segala sikap dan tindak–tanduknya tidak akan
menyimpang dari koridor syar’i.
Dan
bila ia kemudian memiliki cita-cita luhur tak hanya ingin menjadi shalih atau
shalihah, namun juga berusaha membuat orang lain menjadi shalih (muslih), maka ia akan berjuang bersama
dalam sebuah jamaah atau gerakan dakwah. Ia bergabung dengan harakah yang bertujuan membebaskan
negeri-negeri Islam, menyadarkan umatnya dalam menyerukan kalimat-Nya di muka
bumi. Bergabungnya ia dengan gerakan dakwah tersebut membuat ia terikat atau
beriltizam dengan kewajiban-kewajiban yang ada dalam jamaah tersebut. Maka
jadilah syaksiah harakiah atau
pribadi yang haraki, dinamis bergerak
dan berjuang.
Seorang
a’dha yang dalam dirinya terdapat
kedua jenis iltizam tadi, maka ia muncul menjadi syakhshiyah muslimah mutakamilah
atau pribadi Islami yang utuh.
Semakin
banyak orang yang terbentuk menjadi syakhshiyah
muslimah mutakamilah insya Allah harapan Syahid Sayid Qutb, “A- Mustaqbal li haadza dien” (Masa Depan Di Tangan Islam) akan dapat
terwujud. Amin
0 komentar:
Posting Komentar