Meninjau Kembali Kritik Weber atas Islam
Dalam kajiannya mengenai berbagai agama besar dunia, Weber memberikan komentar
yang cukup “pedas” terhadap Islam. Secara ekplisit, ia menyatakan bahwa Islam
merupakan religion of warrior ‘agama prajurit perang’ di satu sisi, dan
“agama antidunia” (baca: agama akhirat) di sisi lain. Pandangan Weber tersebut
setidaknya disebabkan oleh dua hal yang saling berseberangan dalam Islam, yakni
kentalnya dimensi sensualitas yang bernegasi dengan dimensi “sufistik” di
dalamnya. Apabila penelaahan seksama terhadap berbagai karya Weber mengenai
Islam dilakukan, maka tampaklah jelas bahwa ia mengasosiasikan Islam dengan
berbagai hal yang bersifat barbar dan primitif.
Anggapan pertama Weber, yakni kentalnya dimensi sensualitas dan duniawi dalam
Islam, menurutnya hal tersebut disebabkan oleh penetrasi agama—Islam—dalam
kehidupan politik (Schroeder, 2002: 84). Ia mengatakan bahwa muatan
sosial-ekonomi yang terdapat dalam Al-Quran mengalami penafsiran kembali
melalui gagasan jihad (perang suci) berupa pencarian lahan-lahan baru (baca:
ekspansi). Hal tersebutlah yang kemudian mentransformasi Islam sebagai “agama
prajurit nasional Arab” Bagi Weber, berbagai ekspansi yang dilakukan prajurit
Islam tidaklah dilatarbelakangi oleh motif agamis—terutama dakwah—melainkan
lebih pada hasrat untuk memperoleh “harta rampasan perang”.
Sensualitas, sebagaimana yang dimaksudkan Weber, mewujud pada besarnya hasrat
prajurit Islam terhadap para wanita (janda) yang ditinggal mati para prajurit
lawan dalam perang, “Wanita merupakan salah satu bentuk harta rampasan
perang yang sah”, demikian pungkasnya kurang-lebih. Sedangkan, dimensi
duniawi yang juga secara spesifik disebutnya sebagai bentuk “kemewahan
personal” dalam Islam, ditunjukkan oleh kesenangan para muslim untuk tampil
mewah di hadapan publik, hal tersebut dimisalkan Weber dengan kegemaran
orang-orang muslim mengenakan pakaian mahal, wewangian beraroma tajam, berikut
cukuran jenggot yang rapi, di mana kesemuanya ditempatkan sebagai salah satu
bentuk ibadah dan kesalehan tersendiri (Turner, 2005: 228-229).
Pada ranah yang berlainan, sisi kontradiktif Islam sebagai agama anti-Duniawi
dinyatakan Weber sebagai konsekuensi logis dari dimensi sufistik yang termuat
di dalamnya. Berbeda halnya dengan sifat dan corak pemikiran “kasta” prajurit,
para sufi dicirikan dengan sikapnya yang pasif dan apatis terhadap berbagai
persoalan duniawi, mereka sekedar berorientasi pada hal-hal yang bersifat
eskatalogis dan ke-ukhrawi-an (akhirat). Tentunya, hal tersebut
berimplikasi pula pada pelanggengan kekuasaan yang dimiliki sultan (raja)
mengingat ketidaktertarikan para sufi terhadap beragam isu politik yang tengah
hangat dibicarakan. Di sisi lain, Weber turut mengutarakan bahwa para sufi
gemar melakukan “pemborosan”, semisal membiayai pembangunan makam orang-orang
yang dianggap suci serta menggelar beragam bentuk perayaan sufi yang menelan biaya
besar (Turner, 2005: 239).
Tak pelak, serangkaian argumen yang dikemukakan Weber di atas membuatnya
melakukan penyangkalan akan Islam sebagai agama keselamatan. Namun, perihal
yang lebih penting lagi adalah berbagai hasil kajiannya dalam kacamata
sosiologis. Bagi Weber, kedua karakteristik Islam yang disebutnya—duniawi dan
antiduniawi—menegaskan bahwa agama tersebut tak memiliki potensi bagi
tumbuh-kembangnya nilai-nilai (embrio) kapitalisme. Dengan kata lain, Weber
menilai Islam sebagai agama yang kontra-Progresifitas atau anti-Kemajuan
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, kentalnya dimensi “irasionalitas”
dalam Islam berupa kemewahan personal yang ditunjukkan kelas prajurit, atau
apatisme-duniawi berikut pemborosan yang tak rasional sebagaimana dilakukan
kaum sufi, dinilai Weber tak sesuai dengan spirit “asketisme” yang nantinya
bakal melahirkan cikal-bakal kapitalisme (Swedberg, 1998: 143; Turner, 2005:
19).
“Asketisme”, sebagaimana yang dimaksudkan Weber, merupakan pola hidup sederhana
dan tak berlebihan yang dilandasi oleh nilai-nilai transendensi. Dalam The
Protestant Ethic and Spirit of Capitalism, Weber (2006: 50)
mengilustrasikannya sebagai berikut,
“Mereka menghindari pamer dan pengeluaran yang tidak perlu, maupun
kenikmatan yang disadarinya dari kekuasaannya, dan malu dengan tanda-tanda luar
dari pengakuan sosial yang dia terima.”
Lebih jauh, Weber menyatakan bahwa semangat asketisme di atas merupakan salah
satu esensi doktrin calvinisme—etika protestan—yang melahirkan tatanan
masyarakat kapitalis Eropa di kemudian hari. Adapun butir-butir ajaran John
Calvin—calvinisime—antara lain; bekerja keras, melakukan penghematan total,
serta mengutamakan rasionalitas sebagai pertimbangan untung-rugi tindakan yang
diambil. Kesemua ajaran Calvin tersebut dipayungi oleh konstruksi “kerja
sebagai calling” atau “bekerja sebagai panggilan Tuhan” sebagaimana
diutarakan Martin Luther (Weber, 2006: 61). Apabila kita menyimak berbagai
uraian di atas secara seksama, maka tampaklah jelas pertentangannya yang
demikian kentara dengan pola hidup umat muslim yang penuh dengan kemewahan
personal berikut pemborosan-irasional layaknya ungkap Weber.
Faktual, beragam argumen Weber mengenai Islam di atas menuai penolakan
keras seorang sosiolog kenamaan Inggris (Birmingham), Bryan S. Turner. Tanpa
segan, Turner menuduh Weber sebagai seorang orientalis, yakni mereka-para
intelektual Barat yang berbagai karyanya tak lepas dari sentimen “Perang
Salib”. Hal tersebut mengingat kentalnya muatan “kebencian” Weber dalam
ulasannya mengenai Islam. Pertama, Turner menyatakan bahwa kajian para intelektual
Barat mengenai Islam didasarkan pada referensi yang terbatas berikut telah
mengalami “kejenuhan”. Kedua, senada dengan Schroeder, Turner mengatakan bahwa
Weber tak menekuni Islam secara mendalam, dengan demikian, wajar bilamana
banyak sisi mengenainya yang terlewatkan. Perihal yang terpenting lagi adalah,
Turner menegaskan bahwa Weber merupakan satu-satunya ilmuwan sosial yang
mengingkari metodenya sendiri—verstehende—dalam kajiannya mengenai Islam
(Turner, 2005: 39).
Terkait anggapan Weber mengenai Islam sebagai “agama prajurit perang”, Turner
mengemukakan bahwa hal tersebut justru menunjukkan kentalnya dimensi
rasionalitas dalam Islam. Pengklasifikasian prajurit Islam ke dalam prajurit
profesional, semi-Profesional, kavaleri, dan lain sebagainya menunjukkan
eksistensi birokrasi-rasional yang telah mapan—ditemuinya spesialisasi (Turner,
2005: 209). Pada ranah yang berlainan, Karen Armstrong dalam eksemplarnya, Perang
Suci, mengatakan bahwa bentuk-bentuk penaklukkan melalui pedang atau
kekerasan merupakan suatu hal yang lumrah di Abad Pertengahan, baik Islam,
Kristen maupun kekuatan-kekuatan lainnya di masa itu menggunakan cara yang sama
dalam menyebarkan pengaruhnya (Armstrong, 2004: 364).
Di sisi lain, Turner turut memaparkan bahwa pesatnya perkembangan dunia
perdagangan dan industri Islam di Abad Pertengahan merupakan bukti telah
eksisnya nilai-nilai kapitalisme dalam agama yang dibawa Nabi Muhammad
tersebut. Tercatat, perdagangan Islam berupa komoditas rempah-rempah,
wewangian, perhiasan, logam mulia berikut berbagai hewan cagar budaya—kala itu
dianggap sebagai barang mewah—mengalami kemajuaan pesat pada periode-periode di
atas. Begitu pula dengan aktivitas perindustrian Islam berupa sabun, kerajinan
besi maupun tembikar, dan terutama tekstil. Adapun puncak dari kegiatan
industri Islam terjadi di Spanyol dengan ditemuinya aktivitas penambangan
tembaga terbuka serta beragam mineral lainnya. Malahan, dalam dunia
perdagangan, umat Islam kala itu telah melakukan “pembukuan ganda” berikut
memperluas jaringan lembaga-lembaga bursa dan keuangan. Tak pelak, fenomena
tersebut menyebabkan Turner mengamini pendapat Maxim Rodinson bahwa
kapitalisme-rasional sebagaimana termaktub dalam pengertian “weberian”
sesungguhnya telah ditemui dalam konstelasi masyarakat Islam Abad Pertengahan
(Turner, 2005: 206-207).
Secara tak langsung, fakta di atas turut membuktikan bahwa dimensi asketisme
dalam Islam sedikit-banyak menemui kemiripannya dengan calvinisme—bekerja
keras, berhemat dan mengutamakan rasionalitas. Terlebih dengan menilik
serangkaian ajaran Islam—Quran dan Hadist—semisal; Tuhan tak akan merubah
nasib suatu kaum sebelum kaum tersebut merubah nasibnya sendiri, berteberanlah
di muka bumi untuk mencari rezeki Tuhan setelah menunaikan shalat, sesungguhnya
pemboros adalah teman setan, tangan di atas lebih baik ketimbang tangan
di bawah, beribadahlah seolah esok meninggal dan bekerjalah seolah hidup
selama-lamanya, serta berbagai ajaran Islam lainnya yang menyiratkan
kemiripannya dengan ketiga butir etika Calvin di atas. Dengan demikian, tak ada
alasan bagi Weber guna menyebut Islam sebagai agama irasional.
Selanjutnya, klasifikasi besar Weber mengenai muslim ke dalam dua ragam:
prajurit dan sufi, yang mana kesemuanya tak memungkinkan bagi lahirnya tradisi literati
‘penulis/ilmuwan’ dalam Islam (Schroeder, 2002: 85), terkesan terlampau
men-simplifikasi Islam. Pasalnya, Weber seolah menutup mata dengan keberadaan
ilmuwan-ilmuwan besar Islam semisal Ibn Khaldun, Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan lain
sebagainya. Terkait hal tersebut, dalam kunjungan singkatnya ke Jurusan
Sosiologi-UGM beberapa tahun lalu (2009), seorang pakar filsafat berkebangsaan
Iran, Dr. Seyyed Ahmad Fazeli, mengemukakan bahwa sesungguhnya pemahaman sufi terpecah
ke dalam banyak aliran, dan beberapa intelektual Islam terkemuka layaknya Ibn
Sina serta Ibn Rusyd pun faktual dapat ditasbihkan sebagai seorang sufi.
Penjelasan Dr. Fazeli tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya pemahaman sufi
tak selalu dapat diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat pasif, mistik
berikut irasional (baca: antiduniawi).
Melalui berbagai uraian singkat di atas, kiranya dapat disimpulkan secara tegas
bahwa faktual kajian Weber mengenai Islam tak lagi menemui relevansinya di era
kontemporer. Hal tersebut berpijak pada argumen Turner mengenai dimensi
rasionalitas yang justru dibawa kaum ksatria (prajurit) dan pedagang muslim
berikut menunjukkan eksistensi nilai-nilai kapitalisme-rasional dalam
masyarakat Islam Abad Pertengahan. Demikian pula, penjelasan Dr. Fazeli
mengenai beragamnya aliran pemahaman dalam sufi yang secara tak langsung turut mengamini
pendapat Turner dan Schroeder akan “terbatasnya” pengetahuan Weber mengenai
Islam.
*****
0 komentar:
Posting Komentar